Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Namun, situs Aisha Weddings saat ini sudah tidak dapat diakses. Sedangkan akun Facebook miliknya sempat mengunggah sebuah status yang merespons kecaman dan kritik masyarakat.
Aisha Weddings memang misterius. Pemiliknya tidak diketahui, nomor telepon dan alamat kantornya juga tidak dicantumkan dalam situs atau akun media sosial mereka.
Dilaporkan KPAI
Buntut jasa ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan Aisha Weddings ke Bareskrim Polri. Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Rusdi Hartono, mengaku akan terus menyelidiki.
“Untuk kita sama-sama bagaimana masalah yang muncul di masyarakat ini bisa diselesaikan secara tuntas,” ujar Rusdi.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, ikut geram dengan kasus ini. Bintang menegaskan Aisha Weddings telah bertentangan dengan hukum.
ADVERTISEMENT
“Promosi untuk nikah di usia muda yang dilakukan Aisha Weddings membuat geram Kemen-PPPA dan semua LSM yang aktif bergerak di isu perlindungan anak," kata Bintang.
Bertentangan dengan hukum
Bintang mengatakan, pernikahan di Indonesia sudah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 tahun 2019. Dalam aturan itu, perkawinan diizinkan apabila perempuan dan laki-laki sudah berumur 19 tahun.
Selain itu, pernikahan anak usia 12 tahun bertentangan dengan UU Perlindungan Anak.
"Promosi Aisha Weddings tersebut juga telah melanggar dan mengabaikan pemerintah dalam melindungi dan mencegah anak menjadi korban kekerasan dan eksploitasi seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 17 tahun 2016," kata Bintang.
Rawan disalahgunakan
Kemen PPPA khawatir, data pribadi anak-anak dan remaja yang tertarik dengan situs tersebut justru disalahgunakan dan mereka menjadi target tindakan pelanggaran hukum lainnya, seperti eksploitasi seksual ekonomi kepada anak hingga perdagangan anak.
"Itu sebabnya kami akan melibatkan pihak aparat hukum agar anak-anak tidak menjadi korban," kata Bintang.
ADVERTISEMENT
Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri, ikut memberikan analisisnya. Reza mengatakan, ada tiga aspek yang harus ditinjau dalam kasus ini. Pertama, situs dari Aisha Wedding (AW), AW sebagai perusahaan, dan AW sebagai jasa pernikahan anak.
"Apakah EO bernama Aisha Weddings itu memang benar-benar ada? Atau cuma website-nya saja dan bisnis yang sebenarnya tidak ada? Kalau ternyata AW cuma nama website tanpa sungguh-sungguh ada perusahaannya, maka perlu diusut apa motif pembuat situs tersebut," kata Reza.
Usut dugaan pidana
Dalam laporannya, Aisha Weddings dianggap provokatif karena bertentangan dengan kampanye pencegahan pernikahan anak-anak.
"Maka apakah perbuatan AW tersebut bisa dijatuhi sanksi pidana? Yang terpenting sekarang, karena KPAI dikabarkan sudah melapor ke Polri, silakan lembaga negara tersebut kasih penjelasan apa yang dilaporkan dan apa UU yang terindikasi dilanggar," ucap Reza.
Reza kemudian memberikan analisis beberapa dugaan pidana yang bisa menjerat Aisha Weddings. Mulai dari UU Perkawinan, UU TPPO dan UU Perlindungan Anak.
ADVERTISEMENT
"Situs AW menyebut usia 12-21 tahun. Untuk pernikahan usia 12 sampai sebelum 19 tahun, memang 'bertentangan' dengan UU Perkawinan. Tapi jangan salah, lho. UU yang sama membuka ruang bagi terjadinya perkawinan di bawah 19 tahun. Jadi, dalam gambaran ekstrem, pernikahan remaja 15 tahun adalah sah berdasarkan UU Perkawinan jika syaratnya terpenuhi," kata Reza.
"Dari poin ini saja tampaknya semakin goyah unsur pidana dalam AW," tegas dia.
Bentuk kekerasan terhadap anak dan perempuan
Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia, Dini Widiastuti, menilai tindakan Aisha Weddings merupakan bentuk kekerasan terhadap anak dan perempuan.
"Apa yang dilakukan oleh Aisha Weddings menurut kami adalah bentuk ajakan kekerasan terhadap anak perempuan yang dampaknya bukan hanya sesaat tetapi membekas dan berkelanjutan bagi hidup anak-anak tersebut yang menjadi korban dan juga anak-anak yang akan lahir dari mereka nantinya," ucap Dini.
ADVERTISEMENT
"Oleh karena itu, kami dengan tegas menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Aisha Wedding, ini adalah sebuah bentuk kejahatan terhadap anak, perempuan, melanggar hak anak dan termasuk kekerasan berbasis gender," ujarnya.
Kejanggalan Aisha Weddings
Adapun, Founder Drone Emprit, Ismail Fahmi, membeberkan kejanggalan Aisha Weddings. Drone Emprit adalah sistem untuk memonitor serta menganalisis media sosial dan platform online yang berbasis teknologi big data.
Menurut Fahmi, laman Aisha Weddings baru dibuat pada Selasa, 9 Februari 2021 atau satu hari sebelum viral di media sosial.
"Kalau situs http://aishaweddings.com ini pada tahun 2018 dan sebelumnya, semua re-direct ke http://aishaevents.com. Lalu lompat di-update pada 2021. Di tahun 2021, konten baru di-update tanggal 9 Feb (kemaren banget), dan hari ini 10 Feb. Tampak landing page-nya baru dibandingkan dengan last update tahun 2018 lalu," kata Fahmi.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, lanjut Fahmi, Aisha Weddings sebagai WO resmi pernikahan tidak jelas keberadaannya. Baik secara online maupun offline. Apalagi dalam website atau akun media sosialnya tidak mencantumkan alamat dan nomor telepon.
"Situs onlinenya juga baru diisi kontennya pada 9 Feb (berusia 1 hari), dan sebelumnya terakhir diupdate 2018, itu pun redirect ke situs lain," katanya.
"Disinformasi yang meresahkan ini sengaja serius dibuat, dilihat dari spanduk (offline) yang disebar di beberapa titik," ujar Fahmi.
Diduga settingan, menyudutkan agama tertentu
Seorang pegiat isu Islam dan multikulturalisme di media sosial, Baskoro Aris Sansoko, membeberkan penemuannya dalam menganalisis konten dan riwayat WO tersebut. kumparan sudah meminta izin untuk mengutip cuitan Baskoro.
"Awalnya karena merasa too bad too be true (terlalu buruk menjadi kenyataan). Mirip banget vibe-nya sama klepon haram atau telor syariah yang pejantannya maksimal mengawini 4 betina," ungkapnya saat menjelaskan motifnya mencari tahu lebih dalam soal Aisha Weddings.
ADVERTISEMENT
Dugaan awal Baskoro, isu ini sengaja disiapkan sejak akhir tahun lalu. Baskoro mengungkapkan kejanggalan terkait website dan fanpage Aisha Weddings serta foto spanduknya.
Ada 3 poin yang disorot Baskoro dari kejanggalan-kejanggalan yang dia temukan: presence online dan offline, siapa yang awal meramaikan, hingga konten promosi.
Poin pertama soal kemunculan Aisha Weddings di ranah daring atau online. Aisha Weddings punya fanpage FB dengan unggahan pertama 31 Agustus 2020, dengan domain http://aishaweddings.com. Namun data website itu sengaja ditutup.
"Data tersembunyi di http://whois.com. Betul bahwa hal ini bisa di capai secara gratis. Tapi ketika biasanya informasi dibuat terbuka agar akuntabilitasnya jelas, pilihan untuk menutup informasi suatu informasi tentang usaha jelas memunculkan pertanyaan," tulis Baskoro.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Aisha Weddings juga tidak mencantumkan nomor telepon dan alamat kantornya. "Kalau nomor HP atau contact medsos saja enggak ada, ini niat usaha beneran enggak, sih?" tanya Baskoro.
Poin kedua, soal promosi offline lewat spanduk yang dipasang di sejumlah titik. Hasil penelusuran Baskoro, setidaknya ada 3 lokasi yang menjadi sasaran pemasaran brosur atau spanduk offline Aisha Weddings, yaitu:
1. Jakarta
2. Kendari, Sulawesi Tenggara
3. Praya, Lombok, NTB
"Oke kejanggalannya, make sense kah suatu WO yang baru aja September dibikin mau narget 3 wilayah sekaligus di tiga kawasan Indonesia yang berbeda? Sebenarnya aku ada banget kecurigaan kenapa kawasan Menteng, Kendari, dan Lombok dipilih, yaitu asosiasi ke Islam “radikal"," tulisnya.
Mirip Isu Klepon Tidak Islami
ADVERTISEMENT
Drone Emprit pernah menganalisis fenomena viral foto klepon haram pada pertengahan Juli 2020 lalu. Ismail Fahmi menyimpulkan, isu 'klepon tidak Islami' sebenarnya membenturkan isu agama.
Dilihat dari hasil analisis, keyword yang sering dituliskan dalam mencari tahu soal klepon adalah 'kadrun'. Sebagian warganet percaya pembuat konten tersebut adalah kelompok muslim tertentu.
Sedangkan mereka yang curiga, kebanyakan mencari klarifikasi atau menuding kelompok lawannya yang membuat dan menggoreng isu sendiri.
Sejumlah pihak kala itu mendorong agar isu kue klepon tidak Islami yang memicu polemik di masyarakat diusut polisi. Namun, isu itu kemudian tenggelam seiring waktu.