Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Yang Perlu Diketahui soal Shelter Tsunami di Indonesia
10 Januari 2019 10:56 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:50 WIB
ADVERTISEMENT
Ribuan rumah luluh lantak di tanah Lombok diguncang gempa berkali-kali pada Agustus tahun lalu. Di antara ribuan rumah itu sebuah bangunan di Lombok Utara turut runtuh. Bangunan yang sejatinya menjadi tempat evakuasi bencana, khususnya tsunami itu justru ambruk dan gagal melindungi warga di sekitarnya. Paradoks dari fungsi awal gedung evakuasi.
ADVERTISEMENT
Mengingat Indonesia secara geografis menjadi wilayah rawan bencana seperti gempa dan tsunami, keberadaan shelter atau gedung evakuasi sangat penting. Untuk kawasan pesisir pantai saja, setidaknya dibutuhkan 2.000 shelter di seluruh Indonesia, yang mana saat ini baru terbangun 50.
kumparan mewawancarai seorang peneliti Tsunami Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Aceh, Syamsidik, untuk semakin mengenal gedung dengan fungsi vital itu. Syamsidik mengatakan, Badan Standardisasi Nasional (BSN) sebenarnya sudah menetapkan standar bagaimana desain gedung evakuasi yang seharusnya. Selain kekuatan struktur bangunan, ada 3 hal yang harus diperhatikan yakni kolom, balok, dan tangga.
Pertama, gedung evakuasi harus didesain tahan dari gempa dalam skala atau magnitudo tertentu. Semisal, gedung evakuasi di Kampung Aleu Deah Teungoh. Gedung tersebut didesain tahan gempa di atas 9,2 magnitudo. Adapun pertimbangannya adalah berdasar pada gempa 8,9 magnitudo yang mengguncang Aceh pada 2004 silam.
ADVERTISEMENT
Kedua, gedung evakuasi harus memadai dalam hal ketinggian. Para ahli biasanya mengestimasi probable tsunami maximum high (kemungkinan tinggi tsunami maksimal) yang paling mungkin di wilayah itu. Mengingat, tsunami di wilayah bisa terjadi beberapa kali dengan ketinggian bervariasi.
“Kalau di sekitar Banda Aceh ini kasusnya rekomendasi ketinggian gedung evakuasi itu berada di 12 meter. Artinya di desain bangunan disarankan lebih dari 12 meter di sekitar kawasan pantai di sekitar Banda Aceh,” Syamsidik menyebutkan kepada kumparan di TDMRC Aceh, Selasa (8/1).
Ketinggian tersebut tentu berbeda dengan gedung evakuasi di Banten yang baru-baru ini terhantam tsunami. Menurut Syamsidik, ada aspek lain seperti adanya gunung berapi dan patahan di laut.
Kemudian, yang ketiga para perencana harus meninjau betul lokasi pembangunan gedung. Apakah wilayah tersebut dari segi jumlah penduduk memerlukan shelter tsunami? Kemudian, patut juga meninjau sistem transportasi dan evakuasi menuju shelter.
ADVERTISEMENT
“Kalau kita menempatkan gedungnya terlalu jauh dari kawasan pantai untuk menjangkau tempat itu butuh waktu. Sehingga arrival time atau golden time itu tidak terpenuhi. Jadi harus berada pada posisi yang bisa dijangkau dalam rentang waktu sebelum arrival time tsunami tiba,” urai Syamsidik.
Di Banda Aceh, dari 5 gedung evakuasi yang dibangun rata-rata berjarak 100 meter dari bibir pantai. Para warga yang mayoritas nelayan banyak bermukim di wilayah tersebut.
Saat tsunami 2004 silam, sebenarnya wakil presiden Jusuf Kalla saat itu sempat mengimbau para warga untuk tidak lagi bermukim di dekat pantai. Namun, menurut pengelola shelter tsunami di Aleu Deah Teungoh, Romi, hal tersebut tidak mungkin dilakukan. Sebab laut adalah jantung kehidupan masyarakat daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
“Masyarakat ini kan nelayan, untuk tinggal di gunung mereka enggak mungkin. Mereka pasti enggak bisa pegang cangkul,” ucap Romi berkelakar.
Berdasarkan kondisi tersebut, di tengah-tengah kantong permukiman penduduk dibangun shelter yang satu sama lain tidak terlalu jauh jaraknya.
Shelter bencana seharusnya multifungsi
Satu hal yang terus disoroti Syamsidik dan beberapa peneliti lain adalah keberfungsian gedung evakuasi di Indonesia. Menurutnya, mayoritas gedung evakuasi hanya dibangun untuk kepentingan tunggal alias single purpose.
Pemanfaatan hanya pada satu tujuan menurut Syamsidik berdampak buruk pada perawatan gedung. Oleh sebab itu, Syamsidik beserta timnya menyarankan kepada pemerintah terutama BNPB untuk tidak memaksakan diri membangun gedung evakuasi single purpose. Syamsidik menyarankan pemerintah mulai membangun gedung evakuasi multiguna atau multipurpose.
ADVERTISEMENT
“Tapi, sayangnya itu tidak begitu diadopsi oleh pemerintah, termasuk yang di Banten. Di Padang ada sangat besar tapi yang single purpose,” sebut Syamsidik.
Syamsidik menjabarkan, gedung evakuasi single purpose akan menelan banyak biaya untuk perawatan. Nilai guna dan nilai perawatan dianggap tidak sebanding. “Fungsinya juga belum tentu 5 tahun sekali dipakai untuk tujuan evakuasi tsunami kan ya,” sebut Syamsidik.
Selain itu merujuk pada penelitian Ibnu Munzir, gedung evakuasi single purpose akan kurang dekat secara emosional dengan masyarakat. Musababnya, karena gedung itu tidak dimanfaatkan sehari-hari sehingga jamak bila beberapa masyarakat masih merasa asing.
Kondisi tersebut membuat masyarakat akan lebih memilih tempat lain untuk berlindung daripada ke shelter untuk berlindung saat bencana datang.
ADVERTISEMENT
“Berkaca pada kasus gempa tahun 2012 di 11 April dari situ, penelitian itu dilatarbelakangi karena akan ada gempa yang besar. Dari seluruh bangunan evakuasi itu, hanya gedung ini yang ada orang lari. Sekitar 50-an orang yang lari ke gedung itu,” Syamsidik bercerita.
Dengan demikian, konsep multipurpose sudah sebaiknya diterapkan. Konsep tersebut hampir sepenuhnya sudah diterapkan di Jepang. Meski begitu, di Jepang juga tetap ada gedung evakuasi yang berkonsep single purpose.
Tetapi, dari segi desain bangunan yang ada di Indonesia berbeda jauh. Kerangka di Indonesia hampir seluruhnya menggunakan beton. Sementara di Jepang, gedung evakuasi single purpose berkerangka baja.
“Jadi unik juga kalau kita lihat ini bantuan dari Jepang tapi desainnya di Jepang pun kita enggak lihat seperti ini. Tapi, entah mengapa ada beberapa gedung seperti ini bentuknya. Padahal kalau kita lihat struktur desainnya dia (di Jepang) justru lebih tidak tahan terhadap gempa gitu kan,” Syamsidik membandingkan.
ADVERTISEMENT
Shelter tak harus bangunan beton tinggi besar
Dengan konsep multipurpose, sebenarnya gedung evakuasi tidak harus sebuah bangunan yang didirikan dari nol. Bangunan-bangunan yang secara emosional lebih dekat dengan masyarakat, seperti rumah ibadah dan sekolah juga bisa diterapkan.
Terkait hal tersebut menurut tokoh masyarakat Kampung Jawa di Aceh, Ridwan, di tempatnya sekolah-sekolah dan masjid juga sudah difungsikan sebagai gedung evakuasi. Para warga sekitar dia imbau untuk berlindung ke gedung tersebut kala bencana datang.
“Kita jaraknya sekitar 4 kilo dari escape building, kejauhan kalau ke sana. Jadi sekolah dan masjid kita jadikan gedung evakuasi,” tutur Ridwan kepada kumparan, Senin (7/1).
Senada dengan Ridwan, Syamsidik menyebutkan beberapa alternatif lain yang bisa berfungsi sebagai tempat evakuasi. Menurutnya alternatif itu lebih dekat secara emosional dengan masyarakat.
ADVERTISEMENT
“Ada bukit yang mungkin bisa lebih baik digunakan untuk tempat evakuasi ketimbang gedung.
Tetapi, memang tidak begitu saja bukit bisa digunakan untuk tempat evakuasi. Perlu adanya penyediaan tangga, pembersihan lapangan supaya warga bisa lari dengan cepat. Hal seperti itu menurut Syamsidik jauh lebih murah daripada membangun gedung dari nol.
“Saya kira manusiawi ya kalau kita diberi pilihan apakah lari ke gedung atau lari ke bukit. Pasti kita akan lari ke bukit. Kita tidak selalu harus membangun gedung,” Syamsidik menutup.
-------------------------------------------------
Simak selengkapnya konten spesial dalam topik Ironi Shelter Tsunami .