Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Yang Tak Diketahui dari Sutopo si Pengawal Bencana
1 Desember 2017 17:29 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
ADVERTISEMENT
Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho adalah sosok penting di balik penyebaran informasi bencana di Indonesia. Mulai dari tanggul jebol di Situ Gintung, Tangerang Selatan, hingga erupsi Gunung Agung di Bali.
ADVERTISEMENT
Di balik sosoknya sebagai pembawa informasi bencana, ternyata banyak cerita menarik yang mungkin belum diketahui publik.
Berikut sembilan hal menarik di balik sosok Sutopo yang telah kumparan rangkum dari obrolan santai di Graha BNPB, Senin (27/11).
1. Pernah Jadi Korban Bullying saat di Sekolah Dasar
Saat duduk di bangku Sekolah Dasar, Sutopo tinggal di rumah kontrakan beralaskan lempung. Pada musim hujan, laron berdatangan ke rumahnya yang hanya berupa gedek bambu. Laron tersebut kemudian ia tangkap dan masak menjadi peyek.
Hidup berkekurangan bahkan membuat Sutopo pergi ke sekolah tanpa alas kaki. Hal itu membuatnya tidak punya teman dan diperlakukan berbeda oleh guru.
“Saya dulu bodoh, di-bully banyak teman, hitam, rambutnya berdiri. Pokoknya miskin,” cerita Sutopo mengingat masa lalu.
ADVERTISEMENT
2. Pernah Diramal Garis Tangannya
Konon, takdir manusia sudah tertulis di garis tangannya masing-masing. Begitu pula dengan Sutopo yang pernah diramal oleh ‘orang pintar’ dari Bali. Ia diramalkan menjadi orang sukses di masa depan.
“Saya dibilang orang tidak pintar, tetapi saya rajin dan tekun, jadi bisa menutupi kebodohan saya. Saya merasa itu benar, karena memang saya tidak pintar. Baca buku saja, terkadang harus tiga kali baru paham. Padahal teman lain hanya satu kali,” ujarnya.
3. ‘Tersesat’ di Fakultas Geografi
“Kadang masa depan itu misteri,” ucapnya menerawang.
Sutopo mengingat perjalanan hidupnya setelah lulus dari bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Dengan prestasi cemerlang yang ia raih semasa sekolah, Sutopo yakin dapat diterima di universitas negeri melalui jalur undangan.
ADVERTISEMENT
Ia pun memilih Fakultas Kedokteran, Fakultas Teknik dan Fakultas Ekonomi. Begitu masuk pilihan terakhir, Sutopo disarankan untuk mencoba Fakultas Geografi karena tidak kalah bergengsi.
“Padahal dulu Fakultas Geografi enggak keren sama sekali. Lulusannya pun S.Si, sarjana sains, bagaimana bisa jadi insinyur? Saya juga sempat memilih Institut Pertanian Bogor (IPB). Tapi saya pikir, ah ngapain IPB? Eh, ternyata saya S2 dan S3 di sana,” ungkap Sutopo mengingat masa kuliah.
Masa depan yang katanya misteri itu benar adanya. Sebulan sebelum ujian masuk perguruan tinggi, jalur undangan yang dijadikan senjata bagi Sutopo, dihapus oleh pemerintah. Ia tidak memiliki pilihan lain selain jalur ujian masuk.
“Wah, itu saya batuk, pilek, dan demam waktu ujian. Saking stresnya,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Pada saat pengumuman, Sutopo harus menghadapi kenyataan diterima di Fakultas Geografi. Di awal perkuliahan, Sutopo belum bisa menerima kenyataan, hingga jarang masuk kelas. Alhasil, nilainya hanya C, paling bagus B.
“Kenapa saya hanya diterima di Geografi? Sedangkan teman saya yang nilainya lebih jelek, diterima di Teknik. Setiap ditanya saya sekolah di mana, saya selalu jawab Geografi (sambil berbisik),” candanya.
Sutopo akhirnya memantapkan diri untuk kembali mengikuti ujian masuk agar diterima di fakultas yang ia minati. Tapi nyatanya nasib berkata lain. Dosennya kala itu menugaskannya praktek lapangan di Jawa Tengah, sehingga ia gagal mengikuti ujian seleksi masuk.
Melihat nilainya di bawah rata-rata, orang tua Sutopo mengingatkan agar ia mulai serius.
“Bapak ibu sampe cari utangan, saya jadi mikir, mungkin takdir saya di Geografi ini. Dari situ saya mulai tekun, masuk perpustakaan, baca buku,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
4. Bertemu Belahan Jiwa saat Wisuda
Sebagai bujangan yang mencari cinta, perjalanan Sutopo mendapatkan belahan jiwa tidaklah mulus. Terlalu sering gagal mencuri hati perempuan, Sutopo mengaku kebal. Ia pun mencoba peruntungan dengan melirik empat perempuan sekaligus.
Hasilnya? Tetap nihil. Akhirnya Sutopo menghabiskan masa kuliah dengan belajar di perpustakaan, ketika temannya yang lain asyik berpacaran.
Menjadi salah satu lulusan terbaik, tercepat dan termuda, Sutopo mendapat hak untuk duduk di kursi paling depan saat wisuda. Di sampingnya duduk seorang perempuan mungil yang berhasil meraih suma cumlaude dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
“Ih, ini anak kecil amat,” pikirnya, tanpa mengetahui bahwa perempuan bernama Retno Utami Yulianingsih itu, akan menjadi teman hidupnya kelak.
ADVERTISEMENT
5. Memulai Karier dengan 37 Lamaran Kerja
Berhasil lulus dengan nilai terbaik dari Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Sutopo yakin dapat meraih cita-citanya sebagai dosen di sana. Akan tetapi, lamarannya ditolak, sehingga ia memutuskan untuk mencoba lembaga riset di universitas lain.
Tanpa lelah, Sutopo ke kantor pos setiap hari untuk mengirimkan lamarannya. Perusahaan-perusahaan besar seperti Garuda Indonesia pun pernah ia coba, namun tidak berhasil. Cita-citanya untuk menjadi dosen juga harus ia kubur dalam-dalam karena tidak pernah mencapai titik terang.
Akhirnya dari 37 lamaran yang terkirim, Sutopo diterima di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Astra untuk mengelola perkebunan.
“Saya pilih BPPT, Oktober 1994 itu masuk pertama kali. Disuruh orangtua pegawai negeri saja, padahal yang Astra gajinya berkali lipat,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
6. Hobi Menulis
“Sehebat apa pun kalian, jika tidak pernah menulis, akan dilupakan oleh sejarah.”
Pesan dari Pramoedya Ananta Toer itu menjadi penggerak jemari Sutopo untuk terus menuangkan pemikirannya dalam tulisan. Di awal kariernya di BPPT, Sutopo mulai banyak menulis tentang bencana.
Berkali-kali ia mencoba untuk mengirim tulisan ke Kompas, namun tidak diterima. Sutopo juga sempat mengirim tulisannya ke Media Indonesia dan Republika, hasilnya pun tetap sama.
“Akhirnya tulisan saya dimuat di Suara Karya. Hanya sedikit pembacanya. Honornya pun hanya Rp 100 ribu. Kemudian saya menulis terus hingga tembus Kompas sewaktu banjir 1997. Saya tahu akhirnya cara menulis, saya tekuni,” cerita Sutopo.
Kini, lebih dari 100 jurnal ilmiah nasional, 11 jurnal ilmiah internasional, dan sejumlah buku telah ia hasilkan.
ADVERTISEMENT
7. Pernah Membuat Berita Bencana dari Kuburan
Bila ada pertanyaan seputar bencana, datanglah pada Sutopo. Mulai dari wartawan, pejabat pemerintahan hingga pihak istana yang ingin mengetahui informasi akurat dan cepat terkait bencana, berkiblat padanya.
Dengan tingginya permintaan dari pihak luar, Sutopo mau tidak mau harus selalu siap memberikan kabar terkini pada masyarakat. Seperti saat Sutopo berada di taman pemakaman, ia menyendiri di bawah pohon untuk memberitakan erupsi Gunung Agung yang beruntun.
“Saya melayat di Pondok Rangon, bersamaan dengan kondisi Gunung Agung meletus. Saat yang lain ngobrol, saya bikin berita,” tuturnya.
8. Erupsi Merapi 2010 Mengubah Hidupnya
Sutopo memulai awal kariernya di BNPB dengan segelintir bencana besar yang melanda Indonesia di penghujung 2010. Sebut saja banjir bandang pada September, gempa dan tsunami Mentawai pada Oktober, dan erupsi Gunung Merapi di bulan yang sama.
ADVERTISEMENT
Ketika menangani erupsi Gunung Merapi, Sutopo mengaku kewalahan karena harus melayani wartawan di Jakarta dan melihat kondisi di Yogyakarta di akhir pekan. Bersama Syamsul Maarif, Kepala BNPB saat itu, Sutopo menangani korban secara langsung agar terhindar dari bahaya letusan.
Sutopo juga mengatakan bahwa untuk menangani korban bukan hal yang mudah. Sebab, banyak warga di kawasan bencana yang enggan pergi bila ternaknya tidak diungsikan. Tidak sedikit pula warga yang pasrah dan tetap tinggal di rumahnya.
“Pernah ada yang bilang ke saya, ‘sudahlah Pak, hidup dan mati itu antara saya dengan Tuhan. BNPB tidak usah ikutan’ hal seperti itu, kan, tidak ada di buku teori,” ungkap Sutopo.
Dari pengalaman tersebut, Sutopo menyadari bahwa ketika bencana datang, bukan alam yang harus ditangani, melainkan manusia. Seperti membangun jalur evakuasi, membuat sistem peringatan dini, hingga melatih warga agar siaga bencana.
ADVERTISEMENT
“Biarkan saja gunung meletus, toh tidak setiap hari,” ucapnya sedikit bercanda.
9. Mengidolakan Chairil Anwar, Jokowi, hingga Alex Ferguson
“Jangan besar karena jabatan, di mana pun Anda ditempatkan, besarkan jabatan itu. Kerja keras dengan ketekunan dan doa. Orang-orang sukses itu memang dulu banyak yang tersiksa dan menyiksakan diri,” pesan Sutopo pada kami.
Orang-orang sukses yang dimaksud Sutopo ialah Chairil Anwar, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Joko Widodo, dan Alex Ferguson.
Sutopo menuturkan, Chairil Anwar ketika menulis Antara Karawang dan Bekasi, berpuasa selama hampir seminggu untuk menulis karyanya. Ada juga SBY yang sejak kecil bertekad kuat untuk menjadi presiden.
Jokowi pun sama, strategi diferensiasi mengantarkannya pada keberhasilan. Tidak hanya mereka, Sutopo juga menyebutkan mantan pelatih Manchester United (MU), Alex Ferguson, yang memperlakukan pemainnya tanpa perbedaan, hingga MU meraih kemenangan.
ADVERTISEMENT
“Saya banyak belajar, semua dilalui dengan kerja keras dan integritas,” tegas Sutopo.