Yenny Wahid soal Larangan Natal di Sumbar: Kesepakatan atau Paksaan?

22 Desember 2019 19:40 WIB
comment
19
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aktivis perempuan Yenny Wahid dalam seminar nasional "Perempuan Hebat untuk Indonesia Maju" di ballroom The Ritz-Carlton Jakarta, Minggu (22/12).  Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Aktivis perempuan Yenny Wahid dalam seminar nasional "Perempuan Hebat untuk Indonesia Maju" di ballroom The Ritz-Carlton Jakarta, Minggu (22/12). Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Isu pelarangan ibadah Natal di Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, ramai diperbincangkan. Meski, menurut Menag Fachrul Razi, Natal tidak dirayakan di wilayah tersebut karena tidak ada gereja di sana, sesuai dengan kesepakatan antara Pemkab Dharmasraya dan Sawahlunto.
ADVERTISEMENT
Namun, aktivis perempuan Yenny Wahid meragukan hal itu. Anak kedua Gus Dur ini meminta agar hal itu ditinjau kembali karena ia menduga kesepakatan untuk tidak membangun gereja dibuat berdasarkan paksaan.
"Kesepakatan atau pemaksaan. Itu yang harus ditanya dulu. Kalau kesepakatan, tapi relasinya timpang, itu bukan kesepakatan, itu pemaksaan. Kesepakatan terjadi ketika relasinya setara. Ditanya dulu, apakah relasi ketika kesepakatan terjadi, itu relasinya setara atau timpang," kata Yenny di The Ritz-Carlton Jakarta, Minggu (22/12).
Menurutnya, melarang umat tertentu menjalankan ibadahnya merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Ia mengimbau agar pemerintah setempat memberikan fasilitas bagi seluruh warganya untuk beribadah.
"Di Indonesia kan semua setara. Konstitusi kita sudah menjamin kesetaraan, hak setiap warga untuk merayakan, untuk beribadah sudah dijamin oleh Undang-Undang. Kalau kemudian ada yang melarang, itu jelas sudah melanggar Undang-Undang dan harus disikapi oleh Pemda," tegasnya.
Yenny Wahid. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
Menurutnya, kebebasan beragama itu tidak hanya diterapkan di rumah-rumah ibadah saja, tetapi juga di rumah. Misalnya, kata Yenny, jika umat Islam diperbolehkan menggelar pengajian di rumah, seharusnya umat agama lain juga diizinkan menggelar ibadah beramai-ramai di rumah.
ADVERTISEMENT
"Kenapa kalau umat Kristiani harus menggunakan rumah ibadah, tidak boleh di rumahnya. Kalau umat Islam boleh ibadah, boleh pengajian, boleh apa pun di rumahnya masing-masing. Ini kan standar perlakukan yang berbeda dan ini sudah jelas bertentangan dengan konstitusi kita yang menjamin kebebasan dan kesetaraan hak di mata hukum," tambah Yenny.
Sebelumnya Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan ada kesepakatan bersama terkait larangan ibadah natal di Kabupaten Dharmasraya. Ia mengatakan tak dirayakannya Natal di Dharmasraya lantaran tidak ada gereja di sana. Hal itu merupakan kesepakatan antara Pemkab Dharmasraya dan Sawahlunto.
"Jadi menurut penjelasan Kanwil (Kemenag) itu enggak ada gerejanya (di Dharmasraya). Kata dia kesepakatan bersama dua daerah itu, saya sendiri belum cek," ujar Fachrul saat ditemui di Gedung BPPT, Jakarta Pusat, Sabtu (21/12).
ADVERTISEMENT
Fachrul menyatakan, kesepakatan tersebut telah dijalin lama oleh kedua daerah. Sehingga umat Kristiani di Dharmasraya yang ingin merayakan Natal harus ke gereja yang ada di Kabupaten Sawahlunto.
"Nanti kita tanya bagaimana kesepakatannya itu ya, tapi penjelasan mereka itu kesepakatan dan sudah lama itu Pak begitu," ucap Fachrul.