Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Yusril Ihza Bicara Keadaan Darurat Pemilu hingga PT 20% Pemicu Masalah Demokrasi
30 Agustus 2023 12:05 WIB
·
waktu baca 6 menit
ADVERTISEMENT
Pakar Hukum Tata Negara, Prof Yusril Ihza Mahendra, mengatakan dirinya mendapat pertanyaan menarik jelang pendaftaran pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada awal Oktober 2023.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya yakni "Bagaimana kita mengatasi keadaan jika yang mendaftar dan memenuhi syarat capres dan cawapres ternyata hanya satu pasangan saja. Bagaimana cara mengatasi masalah ini?"
Yusril menjelaskan, keberadaan hanya satu pasangan bisa terjadi karena memang hanya ada satu pasang yang memenuhi syarat atau juga karena diboikot oleh calon pasangan lain.
Namun, pertanyaannya besarnya adalah "bisakah pilpres dilaksanakan dengan melawan kotak kosong seperti dalam pilkada?".
"Saya katakan, Pilpres itu jangan dibuat lelucon atau dagelan karena pilpres itu sangat menentukan perjalanan bangsa dan negara kita ke depan. Putusan MK yang membenarkan pilkada satu pasangan lawan kotak kosong itu, mutatis mutandis tidak bisa diberlakukan pada pilpres," kata Yusril dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Rabu (30/8).
Ketua Umum PBB ini mengatakan, kotak kosong bukan subjek hukum yang bisa dipilih dalam pemilihan apa pun. Kotak kosong juga tidak pernah mendaftar sebagai calon dalam pilpres. Oleh karenanya, jika kotak kosong menang, apakah kotak itu bisa dilantik menjadi presiden dan wakil presiden?
ADVERTISEMENT
Yusril kemudian menjabarkan kerumitan pelaksanaan pilpres yang seandainya hanya diikuti oleh satu pasangan. Masalah ini berawal dari ketidakjelasan pengaturan pemilihan presiden di dalam UUD 45 pasca-amandemen.
"Entah bagaimana riwayatnya, Pasal 6A ayat (3) UUD 45 mensyaratkan pasangan calon presiden sedikitnya 3 pasangan. Pasangan akan dinyatakan menang jika memperoleh suara lebih dari 50% dengan sedikitnya 20% yang tersebar di lebih dari 50% provinsi yang ada di negara kita," ucap Yusril.
Yusril yang pernah menjabat Menkum dan Mensesneg ini menambahkan, jika syarat di atas tidak tercapai, maka dua pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua masuk ke pilpres putaran kedua.
"Pasangan yang memperoleh suara terbanyak, tanpa harus memenuhi syarat memperoleh suara minimal 20% pada lebih dari 50% dari jumlah provinsi, dilantik menjadi pasangan Presiden dan Wakil Presiden RI," kata Yusril.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini mengatakan, dalam hal sejak awal hanya ada dua pasangan capres dan cawapres, maka dua pasangan tersebut dianggap langsung memasuki pilpres putaran kedua.
ADVERTISEMENT
Pasangan yang memperoleh suara terbanyak tanpa memperhitungkan jumlah suara minimal 20% di lebih dari 50% dari jumlah provinsi, dilantik menjadi pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
"Praktik tentang hal ini sudah terjadi dalam Pilpres 2019 yang lalu," kata Yusril.
Lantas bagaimana jika sekiranya sejak awal hanya ada satu pasangan calon presiden yang maju dan memenuhi syarat? Yusril mengatakan, UUD 45 tidak mengatur hal ini. Artinya, ada kevakuman pengaturan di dalam UUD 45.
Namun, apakah kevakuman pengaturan tersebut dapat diatasi dengan undang-undang? Dan jika terjadi "hal ihwal kegentingan yang memaksa" misalnya akan mengganggu jadwal pelaksanaan pilpres yang akan berpengaruh pada berakhirnya masa jabatan presiden dan wakil presiden yang sedang menjabat karena akan melampaui waktu 5 (lima) tahun, dapatkah presiden mengeluarkan perppu dengan alasan adanya "kegentingan yang memaksa"?
ADVERTISEMENT
"Sebab, pengaturan lebih lanjut mengenai pemilihan presiden yang diserahkan oleh UUD 45 kepada undang-undang hanyalah mengenai "tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden" saja, bukan mengatur substansi bagaimana jika terjadi dalam kenyataan, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendaftar dan memenuhi syarat ternyata hanya satu pasangan saja," jelas Yusril.
Yusril mengatakan, kevakuman pengaturan dalam hal hanya ada satu pasangan capres dan cawapres adalah materi pengaturan konstitusi, bukan pengaturan undang-undang. Maka cara mengatasi kevakuman itu hanya ada tiga kemungkinan.
"Ketetapan MPR adalah "grundgezets" yang berisi aturan dasar penyelenggaraan negara yang berada di bawah undang-undang dasar tetapi di atas undang-undang," kata Yusril.
ADVERTISEMENT
"Jalan ketiga ini agak sulit ditempuh karena jika ini dilaksanakan dalam Pilpres 2024, konvensi itu masih dalam bentuk coba-coba yang belum tentu akan diterima sebagai konvensi ketatanegaraan dalam praktik penyelenggaraan negara selanjutnya," papar dia.
Masalah Aturan Presidential Threshold (PT) 20%
Yusril Ihza menekankan, masalah mendasar yang Indonesia hadapi sekarang adalah begitu sulitnya memunculkan pasangan capres. Akibatnya, saat ini masyarakat terpaku hanya pada tiga pasangan yang potensial muncul menjadi capres dan cawapres.
"Katakanlah pasangan Ganjar, Prabowo dan Anies Baswedan seperti sekarang ini," kata Yusril.
"Hal itu disebabkan oleh adanya presidential threshold atau "ambang batas" pencalonan presiden oleh parpol yang harus mencapai minimal 20 persen kursi DPR itu," tambah dia.
Yusril menjelaskan, jika sekiranya sampai awal Oktober 2023 ternyata hanya ada satu pasangan capres dan cawapres yang mendaftar dan hal itu dianggap menimbulkan kegentingan yang memaksa, maka Presiden Jokowi dapat mengatasinya dengan menerbitkan perppu.
ADVERTISEMENT
"Tetapi bukan perppu yang mengatur bagaimana melaksanakan pilpres yang hanya ada satu pasangan calon seperti yang tidak boleh dilakukan sebagaimana telah saya uraikan di atas, melainkan menerbitkan perppu yang membatalkan presidential threshold 20 persen itu menjadi 0 persen," jelas Yusril.
Yusril mengatakan, jika Presiden Jokowi mau menerbitkan perppu menghapuskan presidential threshold, itu akan menjadi langkah revolusioner untuk menegakkan supremasi konstitusi.
Ia menekankan dalam UUD 45 sudah tegas menyatakan bahwa yang berhak mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden itu adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
Pencalonan itu dilakukan sebelum pelaksanaan pemilihan umum sebagaimana diatur Pasal 6A ayat 2 UUD 45.
"Mahkamah Konstitusi selama ini tidak pernah mau membatalkan keberadaan presidential threshold dengan alasan hal tersebut adalah open legal policy pembentuk undang-undang yang tidak dapat diintervensi oleh MK," tutur Yusril yang pernah menggugat presidential threshold 20 persen ke MK ini.
Oleh sebab itu, Yusril meyakini jika aturan presidential threshold 20 persen dihapus, dalam waktu satu minggu akan muncul beberapa pasangan capres yang dicalonkan baik oleh satu partai maupun gabungan di antara 17 partai peserta Pemilu 2024 yang sudah disahkan KPU.
ADVERTISEMENT
"KPU tentu dapat memperpanjang waktu pencalonan presiden dan wakil presiden untuk memberi kesempatan kepada partai politik peserta Pemilu 2024 untuk mendaftarkan pasangan calon presiden dan wakil presiden mereka," kata Yusril.
"Beliau berani mengambil tindakan revolusioner membatalkan presidential threshold yang selama ini menjadi hantu bagi demokrasi di Tanah Air," tutup Yusril.