Yusril: Indonesia Ajukan Banding soal Penyitaan Aset Kasus Orbit 123

27 Maret 2025 16:28 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menko Kumham Imipas Yusril Ihza Mahendra. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menko Kumham Imipas Yusril Ihza Mahendra. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, menyebut pemerintah Indonesia mengajukan banding atas penyitaan aset milik Indonesia di Paris oleh Navayo International.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut disampaikannya usai menggelar pertemuan bilateral dengan Menteri Kehakiman Prancis Gerald Darmanin, di Paris, Prancis, Rabu (26/3) waktu setempat.
Yusril menyebut, persidangan terkait upaya banding itu bakal berlangsung pada Mei 2025 mendatang.
"Pengadilan telah memberikan kesempatan kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan appeal atau melakukan banding atas penetapan Pengadilan Prancis tersebut, dan persidangan akan dibuka pada bulan Mei yang akan datang," ujar Yusril dalam keterangannya yang diterima pada Kamis (27/3).
"Dan ini merupakan suatu kesempatan pihak Indonesia untuk menyampaikan keberatan, sanggahan, atau bantahan atas penetapan Pengadilan Prancis terhadap kasus Navayo ini, yang mudah-mudahan akan menjadi bahan pertimbangan oleh pengadilan untuk membatalkan penetapan yang telah dilakukan sebelumnya," lanjut dia.
Untuk menghadapi persidangan, Yusril mengungkapkan bahwa pemerintah Indonesia melalui KBRI di Paris telah menunjuk pengacara yang berpengalaman dalam menangani kasus terkait penyitaan aset negara.
ADVERTISEMENT
"Pemerintah Indonesia melalui KBRI di Paris, telah menggunakan pengacara Prancis yang berpengalaman dalam kasus penyitaan aset semacam ini, dan pengacara tersebut pernah menangani kasus negara, ya salah satu negara Kongo di persidangan," ungkapnya.
"Dan kali ini digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk membela kepentingan pemerintah Indonesia dalam Pengadilan Prancis," imbuh dia.
Ilustrasi satelit. Foto: Adim Sadovski/Shutterstock
Tak hanya itu, Kemenko Kumham Imipas juga bakal mengirimkan perwakilannya untuk memberikan keterangan dalam persidangan tersebut.
Lebih lanjut, dalam pertemuan bersama Menteri Kehakiman Prancis, Yusril juga menyinggung bahwa pemerintah Indonesia menghormati putusan Pengadilan Prancis, namun menyoroti kekhawatiran terhadap prosedur yang telah diambil.
Sebab, kata dia, Pengadilan Prancis menetapkan aset yang disita adalah aset-aset diplomatik tanpa terlebih dahulu memanggil pemerintah Indonesia sebagai pihak terkait.
ADVERTISEMENT
"Ini melanggar asas praktik pengadilan secara internasional, yaitu hakim sebelum memutus perkara harus mendengarkan keterangan para pihak yang terlibat dalam perkara," ucap Yusril.
"Kelalaian terhadap hal ini justru mengkhawatirkan kami terhadap kredibilitas dari Pengadilan Prancis dalam menangani kasus penetapan permohonan yang dimohon oleh Navayo International ini," jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa objek yang disita adalah aset diplomatik yang dilindungi oleh Konvensi Wina
"Bahwa objek yang disita adalah aset diplomatik yang dilindungi oleh Konvensi Wina, bahwa aset-aset diplomatik di luar negeri milik suatu negara tidak boleh disita oleh pihak swasta," ungkapnya.
Menurutnya, putusan Pengadilan Prancis dalam penyitaan itu justru dapat menjadi preseden buruk di seluruh dunia.
"Kalau Pengadilan Prancis mengabulkan permohonan sita ini, maka ini bisa menjadi suatu preseden buruk di seluruh dunia di mana aset-aset diplomatik suatu negara dapat disita berdasarkan penetapan pengadilan negara yang bersangkutan," papar dia.
Menko Kumham Imipas RI Yusril Ihza Mahendra mengadakan pertemuan bilateral bersama Menteri Kehakiman Prancis Gerald Darmanin, di Paris, Prancis, Rabu (26/3/2025). Foto: Dok. Kemenko Kumham Imipas RI
Terkait keberatan yang disampaikan pemerintah Indonesia tersebut, Yusril mengungkapkan bahwa pemerintah Prancis telah menyampaikan seluruh informasi terkait kepada pihak pengadilan.
ADVERTISEMENT
Informasi tersebut juga termasuk konfirmasi dari Kementerian Luar Negeri Prancis bahwa aset yang disita adalah properti diplomatik pemerintah Indonesia.
"Terhadap keberatan-keberatan yang kami sampaikan kepada pemerintah Prancis ini, mereka mengatakan bahwa segala informasi telah diberikan kepada pengadilan termasuk juga adalah informasi dari Kementerian Luar Negeri Prancis menyatakan bahwa betul objek yang disita itu adalah aset diplomatik pemerintah Indonesia yang ada di Paris dan terdaftar pada Kementerian Luar Negeri Prancis," pungkasnya.
Adapun penyitaan tersebut terkait putusan Arbitrase Singapura yang memutus Kementerian Pertahanan RI membayar USD 24.152.855,23 kepada Navayo terkait pengadaan satelit untuk slot satelit orbit 123 derajat bujur timur.
Karena Indonesia tak kunjung membayarkannya, Navayo kemudian permohonan eksekusi sita ke Pengadilan Paris terkait penyitaan aset Pemerintah Indonesia di Paris pada 5 Desember 2022.
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya, pada 4 Maret 2024, Pengadilan Prancis memberikan kewenangan penyitaan itu ke Navayo.

Polemik Slot Orbit 123

Perkara ini berawal saat terjadi kekosongan dalam di slot orbit 123 derajat BT usai Satelit Garuda 1 keluar orbit pada 19 Januari 2015. Satelit Garuda 1 telah merampungkan tugasnya selama 15 tahun, sejak diluncurkan pada 12 Februari 2000.
Saat itu, Satelit Garuda dioperasikan oleh AceS, perusahaan internasional yang dimiliki bersama oleh PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN), Lockheed Martin Global Telecommunication (LMGT), Phillippine Long Distance Company (PLDT) dan Jasmine Internasional Public Company Ltd. Satelit ini mengorbit di atas langit Sulawesi.
Setelah kekosongan terjadi, sejumlah upaya dilakukan agar orbit bekas satelit tersebut tak jatuh ke negara lain. Sebab, berdasarkan ketentuan dari International Communication Union, sebuah badan di bawah PBB yang bertanggung jawab di bidang telekomunikasi dunia, negara yang telah diberi hak pengelolaan satelit akan diberi waktu untuk mengisi kembali orbit dengan satelit lain dalam waktu 3 tahun.
ADVERTISEMENT
Kementerian Pertahanan kemudian mengajukan hak pengelolaan atas slot orbit satelit 123 derajat BT tersebut. Program yang dibawa Kemhan bernama Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Untuk mengisi kekosongan sementara, Kementerian Pertahanan mengadakan kontrak sewa satelit floater (satelit sementara pengisi orbit) dengan Avanti Communications Ltd untuk mengisi Slot Orbit 123 derajat BT. Akhirnya, Avanti menempatkan Satelit Artemis pada orbit 123 derajat BT pada November 2016.
Avanti dan Navayo menggugat Kementerian Pertahanan ke Pengadilan Arbitrase internasional terkait kontrak. Kementerian Pertahanan pun divonis membayar Rp 515 miliar plus USD 20.901.209 (sekitar Rp 298 miliar) atas putusan pengadilan.