Yusril Pertanyakan Penundaan Pemilu 2024: Lembaga Apa yang Berwenang Menunda?

25 Februari 2022 11:39 WIB
·
waktu baca 2 menit
Yusril Ihza Mahendra dan anggota PBB sambangi Kompleks Istana Kepresidenan. Foto: Fahrian Saleh/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yusril Ihza Mahendra dan anggota PBB sambangi Kompleks Istana Kepresidenan. Foto: Fahrian Saleh/kumparan
ADVERTISEMENT
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, menanggapi wacana perpanjangan masa jabatan presiden yang kini kembali muncul. Yusril mempertanyakan mekanisme penundaan pemilu.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, tidak ada lembaga yang berwenang untuk mengesahkan penundaan Pemilu 2024. Begitu pula dengan perpanjangan masa jabatan presiden, anggota DPR hingga DPD.
"Kalau Pemilu ditunda, maka lembaga apa yang berwenang menundanya. Konsekuensi dari penundaan itu adalah masa jabatan Presiden, Wapres, kabinet, DPR, DPD dan MPR akan habis dengan sendirinya," ujar Yusril saat dihubungi kumparan, Jumat (25/2).
"Lembaga apa yang berwenang memperpanjang masa jabatan para pejabat negara tersebut? Apa produk hukum yang harus dibuat untuk menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan tersebut?" sambungnya.
Selain itu, wacana penundaan Pemilu 2024 yang berimbas pada perpanjangan masa jabatan presiden, wapres serta anggota DPR juga bakal berbenturan dengan konstitusi. Jika ingin memaksakan penundaan pemilu, maka harus dilakukan Amandemen UUD 1945.
ADVERTISEMENT
"Tetapi usulan penundaan Pemilu ini menghadapi benturan konstitusi dan undang-undang. Sebagai negara hukum, kita wajib menjunjung hukum dan konstitusi. UUD 45 tegas mengatakan bahwa Pemilu diselenggarakan sekali dalam lima tahun. Undang-undang juga demikian," ucap Yusril.
Kalau pun elite di negeri ini memaksakan amandemen UUD 1945, maka hal ini hanya akan menyisakan masalah besar bagi Indonesia.
"Amandemen UUD 45 menyisakan persoalan besar bagi bangsa kita, yakni kevakuman pengaturan jika negara menghadapi krisis seperti tidak dapatnya diselenggarakan Pemilu," jelas Yusril.
"Sementara tidak ada satu lembaga apa pun yang dapat memperpanjang masa jabatan Presiden atau Wakil Presiden, atau menunjuk seseorang menjadi Pejabat Presiden seperti dilakukan MPRS tahun 1967," lanjut dia.
Infografik Jokowi tolak perpanjangan masa jabatan. Foto: kumparan
Yusril menilai usul perpanjangan masa jabatan presiden lumrah saja dilontarkan. Namun, penyampaian usul, kata dia, sebaiknya juga diikuti alasan hingga solusi yang logis untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya masalah di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
"Kalau asal tunda pemilu dan asal perpanjang masa jabatan para pejabat negara tersebut, tanpa dasar konstitusional dan pijakan hukum yang kuat, maka ada kemungkinan timbulnya krisis legitimasi dan krisis kepercayaan," kata Yusril.
"Keadaan seperti ini harus dicermati betul, karena ini potensial menimbulkan konflik politik yang bisa meluas ke mana-mana," tutup dia.