Yusril: Presiden Memang Boleh Kampanye dan Memihak, Masalah Etis, Itu Filsafat

25 Januari 2024 9:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
Yusril Ihza Mahendra usai menjalani pemeriksaan sebagai saksi meringankan Firli Bahuri dalam perkara pemerasan SYL di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (15/1/2024). Foto: Thomas Bosco/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yusril Ihza Mahendra usai menjalani pemeriksaan sebagai saksi meringankan Firli Bahuri dalam perkara pemerasan SYL di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (15/1/2024). Foto: Thomas Bosco/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Guru besar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menanggapi pernyataan Presiden Jokowi terkait presiden boleh kampanye dan memihak di Pemilu.
ADVERTISEMENT
Yusril mengatakan, Undang-Undang Pemilu memang tidak melarang seorang presiden untuk ikut kampanye baik itu untuk Pilpres dan Pileg.
Menurutnya, Pasal 280 UU Pemilu secara spesifik menyebut, pejabat negara yang dilarang berkampanye adalah ketua dan para Hakim Agung, ketua dan hakim Mahkamah Konstitusi, ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Tidak ada penyebutan presiden dan wakil presiden atau menteri di dalamnya.
Sementara Pasal 281 menjelaskan syarat pejabat negara yang ikut berkampanye dilarang untuk menggunakan fasilitas negara atau mereka harus cuti di luar tanggungan. Namun UU tersebut tidak menghapuskan aturan soal pengamanan dan kesehatan terhadap presiden atau wakil presiden yang berkampanye.
“Bagaimana dengan pemihakan? Ya kalau Presiden dibolehkan kampanye, secara otomatis Presiden dibenarkan melakukan pemihakan kepada capres cawapres tertentu, atau parpol tertentu. Masa orang kampanye tidak memihak,” kata Yusril dalam keterangannya kepada wartawan, Kamis (25/1).
ADVERTISEMENT
“Aturan kita tidak menyatakan bahwa Presiden harus netral, tidak boleh berkampanye dan tidak boleh memihak. Ini adalah konsekuensi dari sistem Presidential yang kita anut, yang tidak mengenal pemisahan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, dan jabatan Presiden dan Wapres maksimal dua periode sebagaimana diatur oleh UUD 45,” tambahnya.
Eks Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia periode 2001-2004 itu menyatakan, jika presiden tidak boleh berpihak, maka seharusnya jabatan presiden dibatasi hanya untuk satu periode.
Jika ada pihak yang ingin presiden bersikap netral, Yusril mempersilakan pihak tersebut untuk mengusulkan perubahan konstitusi.
“Itu (agar presiden netral) memerlukan amandemen UUD 45. Begitu pula Undang-Undang Pemilu harus diubah, kalau presiden dan wakil presiden tidak boleh berkampanye dan memihak. Aturan sekarang tidak seperti itu, maka Presiden Joko Widodo tidak salah jika dia mengatakan presiden boleh kampanye dan memihak,” beber dia.
Presiden Joko Widodo bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menghadiri acara penyerahan Pesawat ke-4 C-130J-30 tail number A-1344, Helikopter AS550 Fennec dan AS565 MBe Panther di Terminal Selatan Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1) Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Ketua Umum PBB ini mengatakan, dirinya siap berdebat terkait anggapan dan narasi tidak etis yang diarahkan kepada Jokowi soal berpihak pada salah satu kandidat. Ia menekankan, yang perlu digarisbawahi adalah perbedaan antara norma etik dengan code of conduct.
ADVERTISEMENT
“Kalau etis dimaknai sebagai norma mendasar yang menuntun perilaku manusia yang kedudukan normanya berada di atas norma hukum, hal itu merupakan persoalan filsafat, yang harusnya dibahas ketika merumuskan Undang-Undang Pemilu,” kata dia.
“Tetapi kalau etis dimaknai sebagai code of conduct dalam suatu profesi atau jabatan, maka normanya harus dirumuskan atas perintah undang-undang seperti kode etik advokat, kedokteran, hakim, pegawai negeri sipil dan seterusnya. Masalahnya, sampai sekarang code of conduct presiden dan wakil presiden (dilarang kampanye atau berpihak) belum ada,” sambung dia, menjelaskan.
Oleh sebab itu, Yusril mempertanyakan indikator etis yang dialamatkan kepada Jokowi.
“Kalau seseorang berbicara etis dan tidak etis, umumnya berbicara menurut ukurannya sendiri. Bahkan, orang kurang sopan santun atau kurang basa-basi saja sudah dianggap tidak etis. Apalagi dibawa ke persoalan politik, soal etis tidak etis, malah terkait dengan kepentingan politik masing,” tutup Yusril.
ADVERTISEMENT