Yusril Sebut Aturan Hukuman Mati Harus Hati-hati: Orang Mati Tak Bisa Hidup Lagi

9 April 2025 17:27 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi hukuman mati ditembak. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hukuman mati ditembak. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, menegaskan hukuman mati dalam KUHP nasional tidak dihapuskan.
ADVERTISEMENT
Namun, dia menekankan hukuman itu bakal bersifat khusus serta diputuskan dan dilaksanakan secara sangat hati-hati.
"Pemerintah dan DPR memang harus menyusun undang-undang tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati sebagaimana diamanatkan Pasal 102 KUHP Nasional yang baru," ujar Yusril dalam keterangannya, Rabu (9/4).
"Namun secara substansi, ketentuan mengenai pidana mati sebagai pidana khusus telah dirumuskan secara tegas dalam Pasal 64 huruf c serta Pasal 67 dan 68 KUHP Nasional," jelas dia.
Dalam aturan Pasal 67 itu, disebutkan bahwa pidana yang bersifat khusus sebagaimana tertuang dalam Pasal 64 huruf c merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif.
Selain itu, aturan pemidanaan juga diatur dalam Pasal 68 KUHP. Berikut bunyinya:
Pasal 68
ADVERTISEMENT
(1) Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu.
(2) Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut turut atau paling singkat 1 (satu) Hari, kecuali ditentukan minimum khusus.
(3) Dalam hal terdapat pilihan antara pidana mati dan pidana penjara seumur hidup atau terdapat pemberatan pidana atas Tindak Pidana yang dijatuhi pidana penjara 15 (lima belas) tahun, pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan untuk waktu 20 (dua puluh) tahun berturut turut.
(4) Pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan lebih dari 20 (dua puluh) tahun.
Diptalk bersama Menko Kumham Imipas Yusril Ihza Mahendra. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Menurut Yusril, pidana mati tidak serta merta langsung dilaksanakan setelah putusan pengadilan. KUHP mengatur bahwa pidana mati hanya dapat dieksekusi setelah permohonan grasi terpidana ditolak oleh Presiden.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, lanjutnya, memohon grasi atas penjatuhan pidana mati wajib dilakukan baik oleh terpidana, keluarga atau penasihat hukumnya sesuai ketentuan KUHAP.
Selain itu, Yusril menerangkan bahwa dalam Pasal 99 dan 100 KUHP juga memberi ruang kepada hakim untuk menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun.
"Apabila selama masa itu terpidana menunjukkan penyesalan dan perubahan perilaku, maka Presiden dapat mengubah pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup," jelas Yusril.
Lebih lanjut, Yusril menekankan bahwa pelaksanaan hukuman mati secara hati-hati juga sebagai cerminan penghormatan terhadap hak hidup.
Oleh karena itu, lanjutnya, pidana mati hanya dijatuhkan untuk kejahatan-kejahatan berat tertentu dan tidak boleh dilaksanakan tanpa pertimbangan mendalam.
"Bagaimanapun juga, hakim dan pemerintah adalah manusia biasa yang bisa saja salah dalam memutuskan," ucap dia.
ADVERTISEMENT
Yusril juga menyinggung jika suatu kesalahan terjadi dalam menjatuhkan dan melaksanakan pidana mati, maka konsekuensinya tidak dapat diperbaiki.
"Orang yang sudah dihukum mati tidak mungkin dihidupkan kembali. Oleh karena itu, kehati-hatian adalah prinsip yang mutlak," tegasnya.
Terkait dengan perdebatan seputar hak asasi manusia (HAM), Yusril menyatakan bahwa sikap terhadap pidana mati sangat tergantung pada tafsir filosofis tentang hak hidup.
"Beberapa agama di masa lalu mungkin membenarkan pidana mati berdasarkan doktrin dan hukum agama tersebut, namun dalam perkembangan teologis masa kini, ada pula tafsir baru yang menolak pidana mati," tuturnya.
Dalam KUHP Nasional, kata Yusril, aturan tersebut mengambil jalan tengah dengan menggunakan berbagai pendekatan.
"Pidana mati dikenal dalam Hukum Pidana Islam, hukum pidana adat, maupun dalam KUHP warisan Belanda. Kita menghormati hukum yang hidup atau the living law dalam masyarakat," kata dia.
ADVERTISEMENT
"Karena itu, kita tidak menghapuskannya, tetapi merumuskan pidana mati sebagai upaya terakhir yang pelaksanaannya dilakukan dengan penuh kehati-hatian," sambungnya.