Yusril soal Bansos Pengaruhi Hasil Pilpres: Cuma 29%, Apa Bisa Jadi Dalih TSM?

2 April 2024 15:42 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra tiba di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (15/1).  Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra tiba di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (15/1). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ketua Tim Hukum Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra, menilai pernyataan saksi ahli yang dihadirkan kubu Ganjar-Mahfud soal dampak pembagian bansos bagi hasil pemilu bisa jadi bumerang. Sebab, kata Yusril, dalam pernyataan saksi ahli itu, pembagian bansos hanya berdampak 29% saja.
ADVERTISEMENT
"Sejauh mana pengaruh bantuan sosial yang diberikan kepada tindak memilih seseorang atau tidak memilih yang lain? Beliau mengatakan hanya 29%, 71% faktor-faktor yang lain," ucap Yusril kepada wartawan usai persidangan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (2/4).
Yusril lalu mempertanyakan, apakah angka 29% cukup untuk dijadikan dalih membatalkan hasil Pilpres 2024. Sebab, menurutnya, angka tersebut terlalu kecil.
"Kalau cuma 29%, apakah dalih yang mengatakan bahwa bansos itu jadi dalih pelanggaran TSM bisa jadi dalih membatalkan pilpres? Dengan pengaruh yang sebenarnya hanya 29%, menurut kami jauh," ungkap Yusril.

Saksi Ahli Ganjar-Mahfud soal Pengaruh Bansos di Pilpres

Pakar Psikologi Hamdi Muluk dalam persidangan sengketa Pilpres 2024 di gedung MK, Jakarta, Selasa (2/4/2024). Foto: YouTube/MKRI
Guru Besar Psikologi Universitas UI yang dihadirkan sebagai saksi ahli oleh Ganjar-Mahfud, Hamdi Muluk, menjabarkan pengaruh bansos terhadap pemilih di pemilu. Berdasarkan hasil studi, Hamdi menyebut ada 29% masyarakat yang memilih karena ada penggelontoran bansos.
ADVERTISEMENT
Politisasi bansos inilah yang menurut Hamdi menjadi salah satu alasan dalam demokrasi di Indonesia, khususnya dalam konteks pemilu. Penyebabnya, bansos hanya bisa dikendalikan oleh pemegang otoritas, baik calon petahana maupun calon yang didukungnya.
"Jadi kalau kita andaikan petahana maju, mungkin dalam konteks sekarang orang akan challenge, lah petahana kan tidak maju? Tapi ada, istilah teman saya, setengah petahana gitu, setengah petahana, bercandaannya gitu, jadi anaknya yang maju. Dan tinggal dibangun Bagaimana persepsi publik dibentuk bahwa setengah petahana dia juga akan mewakili petahana, nah di situ mekanisme psikologisnya berlangsung," ucapnya.