news-card-video
19 Ramadhan 1446 HRabu, 19 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45

Zulhas Bandingkan RI dan Singapura soal Sampah: Di Sana Banyak Pakai Insinerator

19 Maret 2025 14:15 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menko Zulhas Tinjau TPST Bantar Gerbang. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Menko Zulhas Tinjau TPST Bantar Gerbang. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Indonesia masih menggunakan teknologi RDF (Refuse Derived Fuel) dalam mengelola sampah. Teknologi ini mengelola sampah menjadi bahan bakar alternatif pengganti batubara setelah dilakukan pencacahan dan pengeringan.
ADVERTISEMENT
Sementara negara lain, sudah memakai teknologi insinerator untuk mengolah sampah. Insinerator memiliki fungsi untuk menghancurkan sampah hingga berbentuk debu untuk dibuang ke tempat pembuangan umum ataupun diolah menjadi energi listrik.
Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) mengatakan, di Singapura hampir seluruh tempat pembuangan akhir (TPA) sudah dilengkapi dengan teknologi insinerator.
“Singapura pakai [insinerator] itu banyak. Hampir seluruhnya sudah pakai insinerator. Mengubah sampah menjadi energi listrik,” kata Zulhas saat kunker ke TPST Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (19/3). Kegiatan ini dihadiri Gubernur Jakarta Pramono Anung, Menko PMK Pratikno dan Menteri LH.
Zulhas mengatakan, alasan masih sedikitnya teknologi insinerator di Indonesia karena penetapan tarif listrik yang masih mahal bagi para investor meskipun sudah ada subsidi dari pemerintah.
ADVERTISEMENT
Nantinya, energi listrik yang dihasilkan insinerator tersebut akan dimanfaatkan oleh PLN.
Menko Zulhas Tinjau TPST Bantar Gerbang. Foto: Dok. Istimewa
“Namun untuk insinerator masalahnya kan listriknya. Listrik nanti kerja sama akan dibeli oleh PLN. PLN tarif umum 8,5 [sen USD per kWh]. Nah, 8,5 [sen USD per kWh] yang dibeli tentu nggak bisa jalan, di situ problemnya,” papar Zulhas.
“Akhirnya pemerintah pusat naikkan subsidi sampai 13,5 [sen USD per kWh]. 13,5 [sen USD per kWh] belum bisa, bisa kalau [dinaikkan jadi] 20 persen. Nah, 13,5 [sen USD per kWh] sampai 20 persen itu yang kita sebut dengan tipping fee,” tambahnya.
Selain itu, pengurusan izin pengolahan sampah yang harus melalui birokrasi panjang. Mulai dari Gubernur, DPRD, Kabupaten, dan Wali kota. Belum lagi, kalau lokasi PLTSa berada di antara dua daerah, sehingga investor perlu mengurus izin kepada kedua Pemda setempat.
ADVERTISEMENT
“Bayangkan, untuk mengurus satu izin pengelolaan sampah seorang pengusaha harus berhubungan dengan DPRD Kabupaten. Itu harus selesai dengan DPRD. Kalau sudah selesai dengan DPRD, lanjut dengan Bupati/Wali Kota. Itu kalau satu tempat. Kalau gabungan antara kota dan kabupaten maka Bupati, Wali Kota, Gubernur. Itu saja sudah innalillahi ngurusnya lama sekali,” pungkas Zulhas.