Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Belajar dari Kejadian Standing Motor yang Tewaskan Bocah SD
23 September 2023 15:00 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
Kisah pilu menimpa bocah SD berusia 8 tahun yang tewas tertimpa dinding saat melakukan wudu di Masjid Raya Lubuk Minturun, Kota Padang, Sumatera Barat. Peristiwa itu ulah pelajar SMP berinisial MHA (13) yang melakukan standing motor dan menabrak dinding pembatas tersebut.
ADVERTISEMENT
Informasi terbaru dari Kasat Reskrim Polresta Padang Kompol Dedy Ardiansyah Putra, dalam keterangan yang dihimpun, motor yang dipakai MHA ternyata bukan miliknya. Pelajar menengah pertama itu hendak melakukan aksi dengan sepeda motor.
“Motor ini bukan punya anak ini, (tapi) sepeda motor teman yang dibonceng,” kata Dedy kepada kumparan, Kamis (21/9).
Kendati demikian, Dedy menilai, dalam insiden tersebut merupakan buah kelalaian banyak pihak, terutama orang tua tersangka MHA. “Pertama, anak ini belum memiliki hak mengendarai sepeda motor, tentunya tidak memiliki SIM. Itu sudah salah,” imbuhnya.
Senada dengan Dedy, Ketua Bidang Road Safety & Motorsport Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) Victor Assani berpendapat, ada dua hal yang bisa disoroti dan jadi bahan pembelajar an dari insiden tersebut. Pertama soal kemampuan membawa kendaraan bermotor dan pengawasan kepada anak di bawah umur.
ADVERTISEMENT
“Persoalan anak di bawah umur yang mengendarai sepeda motor, ini amat sangat tidak dianjurkan. Banyak hal yang menyebabkan kenapa hal ini harus menjadi perhatian serius,” buka Victor dihubungi kumparan (21/9).
Menurutnya, anak-anak di bawah umur secara fisik dan mental belum siap untuk membawa atau mengendarai kendaraan bermotor. Anak-anak umumnya memiliki postur tubuh lebih kecil, tak sebanding dengan objek yang dibawanya.
Kemudian dari sisi emosi yang cenderung belum stabil, sehingga masih sukar mengukur tingkat dari potensi bahaya yang akan muncul. Apalagi aksi coba-coba atau freestyle seperti standing dan wheelie menggunakan sepeda motor.
“Ada beberapa faktor yang berkaitan dengan kejiwaan, pengetahuan, antropometri sampai motorik. Gambaran konkretnya seperti kematangan emosi, pengetahuan berkendara, kesesuaian ukuran tubuh sampai refleks fisik,” jelas Victor.
ADVERTISEMENT
Faktor kedua adalah pengawasan, orang-orang yang berada di sekitar anak seperti orang tua atau teman maupun lingkungannya seperti sekolah seharusnya bisa melakukan kontrol secara bersama-sama.
“Iya otomatis, yang harusnya mengontrol pertama kali untuk tidak terjadinya anak di bawah umur ya orang tua terus lingkungan dan baru nantinya aparat. Orang tua kontrolnya dari mana, pertama ya peringatan atau edukasi secara lisan dan penanaman pengertian. Kedua, jangan sampai difasilitasi, misalnya diizinkan apalagi dengan sengaja dibelikan kendaraan bermotor,” pungkas Victor.
***