Efisiensi Energi dan Pentingnya Diversifikasi Teknologi untuk Pangkas Emisi

8 November 2024 16:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas gabungan yang terdiri dari Ditlantas Polda Metro Jaya, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta dan Dinas Perhubungan DKI Jakarta menindak pengendara kendaraan bermotor di razia tilang uji emisi di kawasan Cakung, Jakarta, Rabu (1/11). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Petugas gabungan yang terdiri dari Ditlantas Polda Metro Jaya, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta dan Dinas Perhubungan DKI Jakarta menindak pengendara kendaraan bermotor di razia tilang uji emisi di kawasan Cakung, Jakarta, Rabu (1/11). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Efisiensi energi bisa menjadi alternatif untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) di Indonesia. Demikian disampaikan Prof. Iwan Jaya Aziz, SE, M.Sc., Ph.D Professor of Emerging Markets within the Dyson School of Applied Economic and Management in Cornell University.
ADVERTISEMENT
Menurutnya Indonesia saat ini masih terlalu terpaku pada solusi pencarian energi alternatif atau Energi Baru Terbarukan (EBT) saja. Padahal, ada cara lain yang juga bisa dilakukan agar proses transisi energi menuju target NZE bisa cepat dilakukan.
"Tapi, dari sudut produksi dan konsumsi yang membuat saya agak bingung, bukan kecewa adanya satu faktor yang jarang dibahas. Padahal ini turut memberi kontribusi signifikan pada emisi CO2 yaitu efisiensi energi," buka Iwan saat seminar nasional di Universitas Indonesia belum lama ini.
Petugas membersihkan panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) on grid Selong kapasitas 7 MWp yang dioperasikan Vena Energy di Kelurahan Geres, Kecamatan Labuhan Haji, Selong, Lombok Timur, NTB, Senin (15/7/2024). Foto: Ahmad Subaidi/ANTARA FOTO
Efisiensi energi, tambah Iwan dapat membantu percepatan transisi energi di samping menggalakkan skema pencarian atau penggunaan EBT di Indonesia. Bila keduanya berjalan dengan baik, maka penurunan emisi gas buang bisa ditekan lebih cepat.
ADVERTISEMENT
"Mungkin teman-teman terlalu dalam terlibat mencari energi alternatif, tetapi lupa bahwa efisiensi energi adalah salah satu cara yang powerful kalau kita bicara mengenai strategi percepatan," imbuhnya.
Dalam paparannya, Indonesia menghasilkan 750 juta ton emisi CO2 yang menyebabkan efek gas rumah kaca per tahun. Hitungan per kapita dari lebih kurang 250 juta penduduk yang ada saat ini kira-kira sama dengan 3 juta ton per tahun.
"Tapi Indonesia ini kan tidak sendiri, ada 200 plus negara lain di dunia. Berapa sih kontribusi Indonesia terhadap emisi itu? Sekitar 2 persen, terlihat kecil tetapi ingat masih ada 200 negara lain di dunia," katanya.
"Jadi jelas, kita sudah di atas rata-rata. Itu sudah meyakinkan kita, saya berharap ini (dianggap) serius. Tetapi itu yang saya sampaikan hanya emisi per tahun, artinya yang bukan kita lakukan setiap tahun," terang Iwan.
Petugas memasang stiker lolos uji emisi gas buang pada salah satu kendaraan roda empat di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Senayan, Jakarta, Rabu (23/8/2023). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
Sementara emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari negara-negara di seluruh dunia akumulasinya mencapai 20 giga ton dengan stok yang sudah terkumpul mencapai 900 giga ton. Iwan bilang, dengan teknologi yang sudah ada baru bisa mengurangi 2 giga ton.
ADVERTISEMENT
"Menurut perhitungan United Nation, stok CO2 di Indonesia itu sudah 15 giga ton sejak perhitungan climate change dilakukan pertama kali. Diskusi seperti ini yang ditekankan selalu soal bagaimana mengurangi emisi, itu sebenarnya bagus," tambah Iwan.
Salah satu solusi transisi energi di sektor transportasi selain menggunakan EBT adalah mulai menerapkan konsep efisiensi energi dengan menyediakan berbagai teknologi kendaraan ramah lingkungan dan rendah emisi.
Menurut Dewan Energi Nasional Republik Indonesia, konsep multi pathways dengan melibatkan sumber daya yang dimiliki saat ini guna turunkan emisi CO2 untuk capai target NZE 2060 di sektor transportasi adalah cara yang paling realistis untuk diterapkan.
"Basis kita masih di fosil energi. Dalam proses transisi, ada dua hal dari pemerintah targetkan. Pertama ketahanan energi dan penurunan emisi," timpal Agus Pramono selaku anggota Dewan Energi Nasional Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Agus bilang, negara harus memastikan energi selalu ada untuk kelanjutan ketahanan energi nasional guna menjaga pertumbuhan eknomi. Saat menjalankan proses transisi energi, tidak bisa serta merta mengandalkan EBT saja jika tidak diimbangi dengan perilaku masyarakat.
"Untuk mencapai target NZE, emisi ktia tidak boleh lebih dari 129 juta ton. Padahal saat ini kita sedang berada di 750 juta ton, skenarionya adalah perbaikan PDB, peningkatan elektrifikasi, dan penerapan CCUS di sektor industri," jelasnya.
Pada sektor transportasi, selain terus mengembangkan berbagai macam teknologi elektrifikasi seperti mobil listrik murni (BEV) dan mobil hibrida (HEV/PHEV), penurunan emisi dan efisiensi penggunaan energi masih bisa dilakukan pada kendaraan mesin bakar (ICE) yang lebih irit bahan bakar.
"Di sisi bahan bakar, fossil fuel kita masih impor. Tapi kita punya biofuel, bisa biosolar, dan bioetanol. Untuk menurunkan ketergantungan BBM, ya kita harus perbanyak biofuel ini," papar Agus.
ADVERTISEMENT
Di tengah situasi ekonomi Indonesia saat ini, pasar otomotif nasional disebut masih begitu menjanjikan. Dalam konteks penurunan emisi CO2, sebaiknya tidak hanya berfokus pada satu teknologi saja. Apalagi, jika teknologi tersebut masih terbilang mahal.
Mengingat Indonesia memiliki karakteristik lingkungan dan kebutuhan mobilitas berbeda-beda. Maka, diperlukan solusi pilihan teknologi kendaraan yang berorientasi menurunkan kadar emisi CO2 sekaligus efisiensi energi.

Survei: konsumen perlu teknologi kendaraan yang beragam untuk turunkan emisi

Survei dilakukan oleh kumparanOTO bersama Growth & Marketing Analytics kumparan dengan jumlah responden sebanyak 575 orang, memperlihatkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia meyakini teknologi kendaraan kian berkembang untuk memberikan pengurangan emisi.
Adapun, responden yang terlibat dalam survei ini menyasar konsumen potensial yang berencana melakukan pembelian kendaraan bermotor dalam waktu dekat dan memiliki pendapatan rumah tangga minimal Rp 15 juta.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, 43 persen responden yang memiliki pendapatan Rp 15-20 juta, percaya bahwa salah satu teknologi elektrifikasi seperti BEV akan semakin terjangkau di masa depan.
Sementara, bagi 48 persen yang memiliki pendapatan di atas Rp 30 juta menganggap penting bagi pabrikan untuk menyediakan berbagai pilihan selain mobil listrik yang berfokus pada penurunan emisi seperti hibrida, hidrogen, atau mobil mesin bakar konvensional.
Survei ini dilakukan oleh kumparanOTO bekerja sama dengan Growth & Marketing Analytics kumparan. Foto: kumparan
Hasil survei juga memperlihatkan bahwa masyarakat khususnya calon konsumen memerlukan diversifikasi teknologi kendaraan yang bisa menyesuaikan dengan kebutuhan mereka. Ini terlihat dari 91 persen yang menganggap bahwa pabrikan juga perlu mengembangkan teknologi kendaraan yang berfokus pada penghematan atau efisiensi penggunaan energi.