Konversi Bus Standard Deck Menjadi Super High Deck, Apakah Aman?

14 Mei 2024 12:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi bus jenis bodi super high deck (SHD).  Foto: dok. Muhammad Haldin Fadhila/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bus jenis bodi super high deck (SHD). Foto: dok. Muhammad Haldin Fadhila/kumparan
ADVERTISEMENT
Ketua KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi), Soerjanto Tjahjono menyoroti dugaan perubahan spesifikasi bodi bus maut PO Putera Fajar yang mengalami kecelakaan di Ciater, Subang akhir pekan lalu.
ADVERTISEMENT
"Perubahan tersebut bisa saja mempengaruhi kelimbungan kendaraan," kata Soerjanto di Terminal Subang, Minggu (12/5).
Bus pariwisata tersebut diduga telah mengalami konversi bodi dari yang sebelumnya standard deck (SD) atau bodi normal yang umumnya di bawah 3 meter, menjadi spesifikasi kelas super high deck (SHD) yang rata-rata punya lantai (dek) di atas 3,5 meter.
"Ya semoga saja secepatnya, hasil inspeksi ini bisa segera disimpulkan, sehingga bisa diketahui apa penyebab terjadinya kecelakaan maut tersebut," tambah Soerjanto.
Lantas, apakah sebenarnya konversi bus yang sebelumnya dengan jenis SD dapat dirombak menggunakan bodi jenis SHD? Managing Director Karoseri Delima Jaya, Winston Wiyanta mengatakan hal tersebut bisa saja dilakukan, namun dengan syarat.
"Boleh saja, selama datanya benar. Asal sasisnya masih memungkinkan itu tidak masalah, tapi sewajarnya atau seharusnya perlu ajukan SKRB (surat keputusan rancang bangun) itu bila ada perubahan pada tinggi bodi," buka Winston dihubungi kumparan, Senin (13/5).
ADVERTISEMENT
Lanjut Winston, SKRB adalah dokumen penting yang wajib diserahkan oleh pembuat bodi bus atau karoseri ketika merancang struktur bus atau kendaraan yang hendak dibuat. Pengajuannya dilakukan ke Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
"Nanti di Kemenhub dilihat hitungan sudah sesuai atau belum ukurannya mulai dari tinggi, lebar, dan sebagainya. Kalau sudah oke nanti di-approve, kemudian ke balai pengujian untuk diuji satu per satu," jelasnya.
Wujud bus pariwisata Putera Fajar pasca kecelakaan di Subang, Jawa Barat. Foto: Dok. Istimewa
"Makanya saat kita ajukan SKRB itu ke Kementerian Perhubungan itu dilengkapi dengan data sasis juga sebagai landasan uji tipe sasis yang didapat dari APM (Agen Pemegang Merek) yang bikin sasisnya. Setelah pengajuan SKRB itu nanti akan dapat surat registrasi uji tipe atau SRUT untuk bodi," terang Winston.
Karena adanya aturan tersebut, menurut Winston, membuat karoseri atau pengusaha bus tidak bisa bebas menentukan kombinasi jenis bodi dengan sasis yang hendak dipakai. Semuanya harus mengacu pada ketentuan Gross Vehicle Wight (GVW) sasis yang dikeluarkan oleh pabrikan atau APM.
ADVERTISEMENT
"Kalau di karoseri itu harus dihitung berat bodinya berapa, kalau masih masuk dengan anjuran pabrikan pembuat sasis artinya masih memungkinkan dibuat bodi yang SHD. Kalau dibanding bodi bus biasa kan sudah pasti SHD lebih berat," paparnya.
Data GVW pada kendaraan, utamanya pada kendaraan komersil yang ditujukan untuk mengangkut beban berat dan muatan banyak adalah berat operasional maksimal kendaraan yang telah dihitung oleh si pembuat kendaraan tersebut meliputi berat sasis, bodi, mesin, cairan pelumas, bahan bakar, aksesori, pengemudi, penumpang, dan kapasitas muatan seperti ruang bagasi.
Ilustrasi perbedaan tinggi bus standard deck/SD (kiri) dengan super high deck/SHD (kanan). Foto: Maulana Ramadhan/kumparan
"Penentuan jumlah kapasitas angkut penumpang itu tidak bisa ditentukan dengan bebas. Saat pengajuan SKRB ke Kemenhub pasti ada jumlah maksimal angkut penumpang, misalnya pengusaha mau 60 orang ternyata SKRB bisanya hanya 40 orang, ya kita hanya bisa bikin segitu," katanya.
ADVERTISEMENT
Kecuali, kata Winston apabila perusahaan otobus tersebut ternyata melakukan modifikasi mandiri di bengkel atau tempat lainnya yang tidak sesuai standar. Hal tersebut tidak bisa selalu diawasi, makanya itu jadi salah satu alasan masa berlaku uji KIR hanya 6 bulan sebelum harus kembali diperpanjang.
"Karena nantinya saat uji KIR, balai penguji akan memeriksa apakah sesuai (dengan regulasi) atau tidak. Kalau misalnya ada perubahan katakanlah pada tingginya, harusnya ditolak. Misalnya SKRB awal dinyatakan tingginya 3,5 meter ternyata pas diukur jadi 3,7 meter atau sebagainya," pungkasnya.
***