Mengungkap Kendala Calon Pembeli untuk Beralih ke Mobil Listrik

11 November 2024 10:00 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengecekan alat pengisi daya kendaraan listrik di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Rest Area Km 88B Tol Purbaleunyi, Jawa Barat. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pengecekan alat pengisi daya kendaraan listrik di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Rest Area Km 88B Tol Purbaleunyi, Jawa Barat. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Hasil survei dilakukan kumparanOTO bersama Growth & Marketing Analytics kumparan yang melibatkan 575 orang responden mengungkap sejumlah kendala calon pembeli yang hendak mengadopsi mobil listrik berbasis baterai (BEV).
ADVERTISEMENT
Riset ini menggunakan pendekatan Usage and Attitude (U&A), melalui survei online secara kuantitatif, yang berdomisili di Jabodetabek dan kota-kota besar di Indonesia, dengan spesifik pendapatan minimal Rp 15 juta.
Tujuannya adalah untuk mengetahui dan mengerti daya tarik kendaraan elektrifikasi berjenis hybrid, termasuk plug-in hybrid sebagai turunannya, juga mobil listrik. Mencakup awareness, perilaku, sikap, ketertarikan, dan brand image pabrikan.
Survei ini dilakukan oleh kumparanOTO bekerja sama dengan Growth & Marketing Analytics kumparan. Foto: kumparan
Survei Agustus 2024 menunjukkan bahwa 58 persen responden menganggap jarak tempuh terbatas (range anxiety) sebagai hambatan utama dalam memiliki mobil listrik. Sementara 54 persen responden menyebut masa pakai baterai, terutama terkait degradasi atau penurunan kemampuan menyimpan dan menyalurkan energi seiring waktu, sebagai alasan kedua mereka enggan beralih ke mobil listrik.
Umur penggunaan baterai banyak dipertanyakan karena tak sedikit yang cemas mengenai kualitasnya. Apalagi untuk mobil listrik yang digunakan sebagai mobilitas harian dengan dinamika lalu lintas, suhu, maupun beban kerja baterai yang beragam.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, kendati perawatan mobil listrik terbilang ringkas karena tak perlu ganti oli, sebanyak 52 persen responden menganggap perihal biaya perawatan juga merupakan hambatan dalam penyerapan mobil listrik di pasar.
Proses pengecasan Toyota bZ4X di SPKLU yang ada di rest area Tol Trans Jawa. Foto: Dok. kumparan
Kemudian masalah umum pengisian daya listrik relatif memakan waktu yang tidak sebentar, menempati posisi empat sebanyak 50 persen. Kendati ada teknologi pengisian cepat, nyatanya juga masih menyita banyak waktu untuk mobilitas yang kian dinamis.
Mengunci posisi lima, harga jual baru yang relatif masih lebih tinggi dari mobil konvensional, merupakan sorotan yang tidak dapat dipisahkan dari sulitnya adopsi mobil listrik di Indonesia.
Mobil listrik di SPKLU TMII. Foto: Aditya Pratama Niagara/kumparan
Harga jual mobil listrik memang bervariatif. Namun sayangnya kebanyakan masih menyasar segmen menengah ke atas sebagai mobil pelengkap, kedua, ketiga dan seterusnya. Belum banyak mobil listrik yang dipakai sebagai mobil pertama.
ADVERTISEMENT
Fakta lain mengungkapkan, berdasarkan wilayah, masyarakat di Jabodetabek lebih mengkhawatirkan soal jarak tempuh. Sementara luar jabodetabek mengkhawatirkan jarak tempuh, aspek biaya, keterbatasan SPKLU, hingga pengisian daya yang lama.