Mimpi Mulia Ricky Elson: Dari Mobil Listrik hingga Kincir Angin

19 September 2017 15:14 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Infografis Prestasi Ricky Elson  (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Infografis Prestasi Ricky Elson (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kuatnya hembusan angin di pesisir pantai Cipatujah seperti menggambarkan semangat Ricky Elson. Semangat untuk menyalurkan ilmunya di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan ke pemuda-pemuda Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ricky Elson merupakan satu dari empat orang yang mendapat julukkan putra petir. Dia kembali ke Indonesia pada tahun 2011 untuk membantu pemerintah mengembangkan mobil listrik.
Pria berusia 37 tahun ini terlibat dalam pengembangan dan pengetesan Tuxuci. Kemudian dia juga berhasil menciptakan sportscar Selo berkolaborasi dengan Kupu Kupu Malam, dan MPV (Multi Purpose Vehicle) listrik Gendhis.
Mobil Listrik Buatan Ricky Elson. (Foto: Dok. Pribadi Valdy)
zoom-in-whitePerbesar
Mobil Listrik Buatan Ricky Elson. (Foto: Dok. Pribadi Valdy)
Tak hanya fokus mengembangkan mobil listrik, Ricky ternyata punya mimpi lain. Ia bercita-cita membangun kincir angin murah agar bisa memenuhi kebutuhan listrik di daerah-daerah terpencil.
Cita-cita ini menampakkan titik terang sekitar tahun 2012. Berbagai eksperimen sudah dilakoni namun pengembangannya memang belum optimal. Mimpi ini makin nyata ketika ia menemukan sebuah desa di Tasikmalaya.
ADVERTISEMENT
Masih teringat betul ketika tahun 2012 dia menginjakkan kaki di Dusun Lembur Tengah, Desa Ciheras, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Pria kelahiran Sumatera Barat itu yakin, kincir angin besutannya itu bisa diuji dan dimanfaatkan secara optimal di lingkungan tersebut.
Pembangunan kompleks riset dan pengembangan pembakit listrik tenaga angin berskala mikro dimulai. Berawal dari sebuah bangunan semi permanen dia mulai semangatnya untuk melahirkan kincir angin berukuran kecil dengan harga terjangkau untuk menerangi daerah-daerah terpencil yang belum bisa menikmati listrik.
Satu tahun berjalan tepatnya pada 2013, pria yang hobi menggunakan kacamata oval itu, berhasil menyelesaikan 100 penari langit -- sebutan kincir anginnya. Dengan sumber daya angin di negeri ini, empat desa di Sumba, Nusa Tenggara Timur menikmati kemajuan dunia yang bernama peradaban elektrik.
ADVERTISEMENT
Lentera Angin Nusantara jadi tempat ideal bagi para mahasiswa yang ingin belajar soal cara kerja kincir angin, mendesain bilah, dan masih banyak lagi.
"Berdirilah di bawah kincir untuk memahami prinsip kerjanya. Karena saya membawa cara seperti itu, tidak ada yang tahan. Pokoknya saya kecewa. Kata saya, 'Baru kayak begini kalian menyerah'," ucapnya.
Ricky Elson, Lentera Bumi Nusantara (Foto: Resnu Andika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ricky Elson, Lentera Bumi Nusantara (Foto: Resnu Andika/kumparan)
Cara didikannya yang keras dengan standar tinggi pada awal Lentera Angin Nusantara berdiri membuat banyak mahasiswa yang tak kuat. Akibatnya, tiga bulan lamanya dia menyendiri di Ciheras.
Soal Desa Ciheras yang dipilih sebagai pusat riset dan pengembangan kincir angin, sang putera petir mempertimbangkan dalam aspek performance quality dan environment quality.
"Performance quality artinya sesuai dengan yang kami desain --angin pada kecepatan berapa harus dapat listrik berapa. Dan kedua, lingkungan, karena kami akan meninggalkannya di desa-desa tertinggal dan belajar dari kegagalan masa lalu," kata Ricky.
ADVERTISEMENT
"Sebelum kami deploy, kami uji di sini, di tempat yang paling khas dan paling kejam. Badai pasir, kandungan garam, angin kencang, hujan besar, kincir angin harus bertahan," ia menambahkan.
Di samping itu ada faktor lain, yakni Lentera Angin Nusantara harus jauh dari kampus dan terjangkau. Tujuannya, agar para mahasiswa yang datang tidak langsung pulang dan pasti menginap barang semalam.
Lentera Bumi Nusantara (Foto: Lentera Bumi Nusantara)
zoom-in-whitePerbesar
Lentera Bumi Nusantara (Foto: Lentera Bumi Nusantara)
"Setidaknya saya utarakan pemikiran saya, terserah mereka mau terima atau tidak," tutur pria yang gemar membaca itu.
Namun, dalam masa-masa awal memulai tinggal dan melakukan pengembangan kincir angin di Desa Ciheras, kondisi lingkungan di sekitar kurang bersahabat. Sepanjang pesisir pantai di Cipatujah rusak akibat penambangan pasir besir. Lubang menganga di mana-mana, termasuk kompleks Lentera Angin Nusantara.
ADVERTISEMENT
Tahun 2014, jadi akhir aktivitas tambang di sana. Warga sekitar yang sebelumnya menggantungkan nasib pada pasir besi kini menganggur. Tanah menjadi gersang dan rusak.
"Saya bertanya terus, apa yang bisa saya lakukan. ternyata saya cuma terlihat keren dan hebat di mata orang dan bisa memberikan apa-apa. Akhirnya saya tidak memiliki kebanggaan terhadap kincir angin terbaik saya," kata seraya melempar memori masa lalu.
Sampai pada suatu ketika, dia belajar dari seorang petani yang menanam kacang dan tumbuh subur. Di situ ia melihat masih ada harapan bahwa tanah di Ciheras masih bisa memberi harapan. Di sisi lain, Ricky Elson pun mendapat gambaran getirnya menjadi seorang petani.
"Sungguh keterlaluan saya, menetapkan tanah ini sudah kena kutuk dan tidak bisa tanam, padahal masih ada harapan dan tanaman tumbuh."
ADVERTISEMENT
Pelajaran lain yang ia dapat di Desa Ciheras adalah dari rumput. Dia rutin meminta mahasiswa yang Kerja Praktik (KP) di tempatnya untuk mencangkuli rumput itu setiap kali tumbuh.
"Seperti ada yang berbicara kepada saya: 'Enggak belajar kamu di tempat seperti ini, kering, kami tumbuh, kamu enggak belajar, kenapa mesti dicangkul dan tidak dimanfaatkan. Kurang bukti apa lagi, kacang tumbuh dan ada harapan`,"
ADVERTISEMENT
Mulailah dia menggali lubang-lubang bekas penambangan pasir besi untuk dijadikan tempat budidaya lele. Kemudian, rumput mulai dimanfaatkan untuk pakan domba dan berkolaborasilah dia dengan masyarakat setempat.
Beternak domba menjadi salah satu cara yang dilakukan Ricky agar dia bisa memberikan manfaat kepada masyarakat. Pelan-pelan, dia turut melibatkan masyarakat setempat untuk ikut beternak domba.
"Rumput bisa dimanfaatkan untuk pakan domba, sementara kotoran domba bisa digunakan untuk menyuburkan tanah di Ciheras. Lagipula domba lebih murah ketimbang sapi. Memang untungnya tidak sebesar sapi," ujarnya.
Ricky sadar betul, secara ekonomi banyak masyarakat di Ciheras yang kesulitan beternak domba. Dia pun melakukan berbagai upaya agar masyarakat mau berpartisipasi dan bisa meningkatkan standar hidupnya.
Sejak tahun lalu, Ricky memiliki program yang namanya tabungan kurban.
Ricky Elson (Foto: Resnu Andika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ricky Elson (Foto: Resnu Andika/kumparan)
Program ini menawarkan ke masyarakat yang ingin kurban, tapi bisa dicicil dengan harga yang disesuaikan dengan bobot domba kurban. Domba-domba yang masuk dalam program kurban itu juga tidak hanya mencakup domba yang ada di kawasan Lentera Bumi Nusantara, tapi juga domba milik warga sekitar.
ADVERTISEMENT
Kini, Lentera Bumi Nusantara secara perlahan bisa memberikan manfaat positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar.
Sesuai dengan visinya, Lentera Bumi Nusantara memang dibuat untuk memupuk dan menanamkan rasa kepercayaan diri pemuda-pemuda Indonesia.
Tahun ini, 100 mahasiswa dari berbagai daerah termasuk Ternate, Kendari, Alor, Makassar, Lombok, Kalimantan, Jawa, Padang, Riau, Jambi, Bengkulu, dan Lampung mewarnai bumi Ciheras.
Infografis Prestasi Ricky Elson  (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Infografis Prestasi Ricky Elson (Foto: Bagus Permadi/kumparan)