Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Pengamat Usul Cukai Karbon Kendaraan Gantikan PPN 12 Persen
6 Januari 2025 6:00 WIB
ยท
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) mengangkat usulan pengenaan cukai karbon di tengah isu penerapan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen yang juga menyasar sektor kendaraan bermotor .
ADVERTISEMENT
Lewat gelar wicara bertajuk Opsi Laen PPN12%: Cukai Carbon Kendaraan Catatan Mitigasi Emisi Kendaraan Tahun 2024 di kanal resmi YouTube infokpbb, Direktur Eksekutif KPBB, Ahmad Safrudin menjelaskan cukai karbon lebih tepat dibanding PPN 12 persen.
"Terkait potensi cukai karbon, jika kita ingin memperoleh ruang fiskal baru, dalam konteks ini adanya ruang baru bagi pendapatan negara atau pendapatan pemerintah. Kan sekarang isunya pemerintah akan mencari income baru, sumber pendapatan baru," kata Safrudin.
Safrudin menilai bahwa langkah pemerintah dengan membuat tarif PPN naik menjadi 12 persen terbilang kuno. Padahal jika menerapkan cukai emisi kendaraan bermotor memiliki potensi pendapatan lebih besar dan berefek ganda (multiplier effect).
"Pajak di sini dari beberapa ternyata dipilih PPN, bukan dari usulan para ahli. Ekonom kita menyarankan harusnya yang kena pajak itu orang-orang kaya artinya dari pajak kekayaan, potensinya bisa lebih dari Rp 225 triliun," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Menurut perhitungannya, dengan menerapkan cukai karbon kendaraan bermotor, maka potensi pemerintah mendapat pemasukan hingga puluhan triliun rupiah setiap tahunnya terbuka lebar. Bahkan dijanjikan lebih besar dibanding dengan menerapkan PPN 12 persen.
"Potensi penerimaan dari cukai ini mencapai Rp 92 triliun per tahun, ini lebih besar dibanding pendapatan Rp 67 triliun per tahun yang didapat dari kenaikan PPN sebesar satu persen. Artinya lebih besar Rp 25 triliun, kenapa pemerintah tak pilih opsi ini?" papar Safrudin.
Untuk itu, Safrudin mendesak pemerintah agar bisa mengkaji dan mempertimbangkan ulang mengenai aturan cukai karbon kendaraan bermotor. Selain pemasukan negara, pemerintah disebutnya akan mendapat benefit lainnya.
"Kalau kebijakan ini bisa diterapkan dengan baik, maka emisi karbon bisa ditekan sebesar 59 persen. Jauh lebih besar dari target emisi nasional yang kita janjikan kepada PBB yaitu 41 persen, dan menghemat konsumsi BBM hingga 59 juta kiloliter dan solar 56 juta kiloliter atau setara dengan nilai Rp 677 triliun," terangnya.
ADVERTISEMENT
Sekitar lima tahun yang lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengusulkan emisi karbon dioksida (CO2) kendaraan bermotor akan dikenai cukai. Hal ini bertujuan untuk mengurangi tingkat polusi dengan menekan populasi kendaraan bermotor konvensional.
"Bila emisi kendaraan bermotor dikenakan cukai maka objeknya kendaraan bermotor menghasilkan emisi CO2. Ini sesuai program pemerintah yang ingin dorong produksi kendaraan berbasis listrik yang emisinya jauh lebih kecil, sehingga non-listrik yang emisi lebih gede akan jadi objek," kata Sri Mulyani saat Rapat Dengar Pendapat Cukai Plastik di Ruang Rapat Komisi XI DPR, Rabu (19/2/2020).
Sri Mulyani mengatakan, mekanisme cukai akan dibebankan kepada pabrikan dan importir saat kendaraan beremisi keluar dari pabrik. Pihak pabrikan yang dimaksud yaitu produsen dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Sedangkan pembayaran cukai akan dilakukan setiap bulan secara berkala. Tarifnya akan bersifat advalorum (dipungut berdasarkan persentase dari nilai barang) dan atau spesifik tergantung emisi karbon yang dihasilkan.
Namun pengecualiannya tak hanya pada kendaraan listrik yang notabene tidak menghasilkan gas buang, tapi juga untuk beberapa kendaraan lain seperti angkutan umum dan lainnya.
"Kendaran transportasi umum, kendaraan operasional pemerintah, kendaraan untuk keperluan khusus seperti ambulans, pemadam kebakaran juga tidak dikenakan, meski bertahap harus ada program insentif agar mereka lebih green, dan kendaraan untuk diekspor," ucap Sri Mulyani.
***