Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Surat Izin Mengemudi (SIM ) wajib dimiliki semua pengemudi kendaraan bermotor, termasuk bagi kalangan disabilitas. Mereka harus mengantongi SIM D (difabel).
ADVERTISEMENT
Namun, meski polisi sudah memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk menggunakan kendaraan, nah bagi penyandang tunarungu hingga saat ini masih abu-abu. Beberapa daerah ada yang mengizinkan tapi ada juga yang belum.
Kasi SIM Subdit Ditlantas Polda Metro Jaya Kompol Lalu Hedwin Hanggara, mengatakan untuk para penyandang difabel tuli atau tunarungu belum bisa mendapatkan SIM karena pertimbangan keselamatan.
"Tidak bisa (memiliki SIM D) itu sesuai dengan pasal 35 Perkapolri nomor 9 tahun 2012 tentang SIM," kata Lalu Hedwin saat dihubungi kumparan, Senin (7/9).
Dalam aturan tersebut memang benar menegaskan untuk memiliki SIM pemohon harus lulus persyaratan kesehatan salah satunya pendengaran.
Di bagian 3 pasal 35 dituliskan sebagai berikut:
Kesehatan pendengaran, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diukur dari kemampuan mendengar dengan jelas bisikan dengan satu telinga tertutup untuk setiap telinga dengan jarak 20 cm (senti meter) dari daun telinga, dan kedua membran telinga harus utuh.
ADVERTISEMENT
Berlandaskan aturan tersebutlah pihak kepolisian belum bisa menerbitkan SIM untuk penyandang disabilitas tuli. Pada pasal yang sama juga dijelaskan bagi para penyandang tunanetra belum diizinkan memiliki SIM D .
2 peraturan yang menimbulkan ambiguitas
Dalam Undang-undang No 22 Tahun 2008 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Di pasal 80 huruf e disebutkan Surat Izin mengemudi D berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus bagi penyandang disabilitas.
Dasar hukum inilah yang membuat beberapa pegiat memperjuangkan hak memiliki SIM bagi para penyandang disabilitas termasuk kaum tunarungu .
Pendiri dan instruktur Jakarta Defensive Driving Consultan (JDDC), Jusri Pulubu mengatakan seharusnya pemerintah harus lebih jelas lagi membuat aturan hukum terkhusus hal-hal yang sensitif.
"Disabilitas memang pada undang-undang tersebut (UU no 22) tidak dijelaskan secara rinci. seharusnya ada PP (Peraturan Pemerintah) disabilitas yang dimaksud seperti apa. Karena bicara keselamatan bukan tentang dirinya saja tapi orang lain juga," kata Jusri saat dihubungi kumparan, Selasa (8/9).
Jusri berharap dalam waktu dekat pemerintah bisa menerbitkan PP atau juklak yang bisa mengatur dan menjelaskan undang-undang tersebut dengan lebih lengkap.
ADVERTISEMENT
"Sehingga ini tidak jadi ambigu terhadap pelaksanaan dan implementasinya. Karena ini akan menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri. Akan timbul kontradiksi mengapa ada undang-undang tapi tuna rungu atau tuna netra tidak diperbolehkan," paparnya.
Jika dilihat dari sisi keselamatan, Jusri setuju dengan aturan pasal 35 Perkapolri nomor 9 tahun 2012 tentang SIM. Musababnya, menurut dia, jalan raya jadi tempat paling berbahaya dan paling besar menyumbang angka kematian akibat kecelakaan.
"Berdasarkan fakta dari jumlah kematian dan kecelakaan yaitu aktivitas berkendara di jalan raya. Saya setuju dengan aturan itu, dengan tegas tidak diperkenankan terlebih dulu karena ini akan sangat membahayakan mereka dan orang lain," imbuh Jusri.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
ADVERTISEMENT