Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Ricky Elson: Saya Bukan Manusia Kuat tapi Tangguh
18 September 2017 15:28 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
ADVERTISEMENT
Kebulatan tekad meninggalkan karier cemerlang di Jepang untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat Indonesia mengantarkan Ricky Elson, sang "putra petir", ke Ciheras, Tasikmalaya, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Pagi itu, embusan angin muson timur terasa menusuk tulang. Ditemani secangkir teh hangat, dia meladeni sejumlah petani berdiskusi soal beternak domba.
Begitu diskusi rampung, kumparan (kumparan.com) langsung masuk ke ruangan. Pria kelahiran 11 Juni 1980 itu pun menyambut kami.
"Sudah sarapan belum," begitu tanya dia. Diskusi yang semalam terputus pun kami lanjutkan.
Kami penasaran mengapa beliau memilih Ciheras, tempat yang jauhnya 350 kilometer dari Jakarta atau masih perlu 3-4 jam jalan darat untuk menuju sana dari Kota Tasikmalaya.
"Di Ciheras saya mulai dari membangun dari satu pondok. Seperti ini enggak ada apa-apa. Kemudian bikin tiga pondasi (dudukan kincir angin) dengan anak-anak," ceritanya sembari menunjukkan beberapa foto dokumentasi Lentera Angin Nusantara.
ADVERTISEMENT
Dia bercerita, daerah Ciheras saat itu dalam kondisi hancur akibat penambangan pasir besi. Lubang-lubang menganga berukuran besar dibiarkan begitu saja.
Kata Ricky, banyak penambang dari India dan China yang menguras sumber daya alam Ciheras tanpa memperhatikan dampak negatifnya. Saat itu tahun 2012, dan aktivitas penambangan sedang gencar-gencarnya di sepanjang pesisir Cipatujah.
"Sementara saya waktu itu merasa ingin memperbaiki dan orang-orang justru menghancurkannya. Saya naiflah. Dulu berbekal kincir angin terbaik di kelasnya, saya merasa percaya diri sekali. Silakan cari yang lebih baik dari punya kami," kata dia dengan gaya bicara tegas.
Singkat cerita, berdirilah Lentera Angin Nusantara. Pusat riset dan pembelajaran ini memiliki semangat bisa memberikan manfaat kepada masyarakat melalui teknologi energi terbarukan.
ADVERTISEMENT
Ricky bercita-cita bisa melahirkan kincir angin kecil yang harganya terjangkau.
ADVERTISEMENT
Faktanya, perusakan di daerah Ciheras dan sekitarnya tak sebanding dengan kontribui si "penari langit" --sebutan Ricky untuk kincir anginya.
Ricky pun sadar, teknologi yang ia kuasai dan bangga-banggakan itu tak membuat banyak orang di Ciheras terbantu. Rasa putus asa menghantuinya.
"Dalam keadaan seperti itu saya hanya bisa mengutuk. Saya merasa di tanah ini tidak ada lagi harapan. Lalu di sanalah saya belajar. Saya bukan manusia kuat, tapi saya tangguh," kenangnya.
Kini, ruang berkarya Ricky adalah pondok semi permanen beratap asbes. Padahal dulu di Jepang, dia bekerja dengan fasilitas super lengkap, di laboratorium mewah pada sebuah gedung berlantai 20.
"Saya tinggalkan keluarga semuanya. Istri saya suruh belajar dan di sini sama anak-anak muda tidur ketika hujan basah-basahan," kata dia.
ADVERTISEMENT
Saat merintis Lentera Angin Nusantara, gayanya yang keras dan menerapkan standar tinggi ternyata tak membuahkan hasil.
"Berdirilah di bawah kincir untuk memahami prinsip kerjanya. Karena saya membawa cara seperti itu, tidak ada yang tahan. Pokoknya saya kecewa. Kata saya, 'Baru kayak begini kalian menyerah,'" ucapnya.
Karena sikapnya yang keras itu, dia ditinggalkan oleh para mahasiswa didikannya. Sendirian selama tiga bulan, rasa putus asanya semakin menjadi. Dia jadi sering menyalahkan orang lain.
Padahal pemilihan Ciheras sebagai tempat riset dan pengembangan kincir angin dianggap Ricky sangat ideal. Di daerah ini anginnya kencang, produk bisa diuji berdasarkan aspek performance quality dan environment quality.
"Performance quality artinya sesuai dengan yang kami desain --angin pada kecepatan berapa harus dapat listrik berapa. Dan kedua, lingkungan, karena kami akan meninggalkannya di desa-desa tertinggal dan belajar dari kegagalan masa lalu," kata Ricky.
ADVERTISEMENT
"Sebelum kami deploy, kami uji di sini, di tempat yang paling khas dan paling kejam. Badai pasir, kandungan garam, angin kencang, hujan besar, kincir angin harus bertahan," lanjut dia.
Selain itu ada faktor lain, yakni Lentera Angin Nusantara harus jauh dari kampus dan terjangkau. Tujuannya, agar para mahasiswa yang datang tidak langsung pulang dan pasti menginap barang semalam.
"Setidaknya saya utarakan pemikiran saya, terserah mereka mau terima atau tidak," kata Ricky.
Cerita belum usai... simak kelanjutannya di hanya di kumparan.