Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Terkendala Regulasi, Transportasi Berbasis Hidrogen Masih Dikaji
18 Februari 2025 12:00 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Eniya Listiani Dewi mengungkapkan rencana pemerintah memanfaatkan hidrogen masih terdapat sejumlah tantangan.
ADVERTISEMENT
Salah satunya adalah membentuk peta jalan hidrogen, khususnya sektor transportasi dan industri otomotif nasional, yang hingga kini terhalang perihal kebijakan atau regulasi berlaku di Indonesia .
"Itu kami landaskan kepada rancangan undang-undang energi baru, energi terbarukan yang masih belum dibahas lagi. Dasarnya itu, jadi yang membuat kami tertahan karena regulasi tidak ada," ujar Eniya ditemui sela acara Toyota Carbon Neutrality di Kemayoran, Jakarta belum lama ini.
Utamanya, menurut Eniya, penyangga tertinggi atas pemberian insentif masih terpaut pada rancangan undang-undang atau RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang disebutnya belum ada pembahasan lebih lanjut.
"Tidak ada (di dalam RUU EBET) untuk mengalihkan misalnya insentif dari (bahan bakar) fosil ke yang renewable. Nah, nanti kalau sudah ada dasar hukumnya, baru kita upayakan bagaimana modelnya," terangnya.
ADVERTISEMENT
Eniya menjelaskan, secara garis besar di dalam RUU EBET tersebut baru menekankan pada fokus untuk para pelaku atau badan usaha yang berupaya melakukan mitigasi iklim atau aktivitas penurunan emisi agar bisa mendapat insentif karbon.
Namun, dikatakannya belum ada regulasi atau pasal yang menerangkan secara spesifik pemanfaatan energi ramah lingkungan atau peralihan penggunaan bahan bakar fosil maupun batu bara ke bahan bakar terbarukan seperti hidrogen.
Eniya juga menyoroti pemanfaatan hidrogen sebagai energi kendaraan massal disebutnya belum bisa terlaksana dalam waktu dekat. Sebab, estimasi harga ecerannya bisa 3-4 kali lipat dibanding BBM biasa.
"Tetapi secara bertahap akan semakin terjangkau seperti mobil listrik lima tahun lalu yang sekarang sudah mulai ramai dan semakin terserap. Kita lihat (kendaraan hidrogen) seperti itu juga," paparnya.
ADVERTISEMENT
"Mau bicara (harga) hidrogen atau etanol pasti ya pasar yang menentukan. Kalau harga kendaraan (renewable energy) semakin murah, otomatis akan lebih banyak orang yang membeli," pungkas Eniya.
Wanita murah senyum ini memberi contoh konkret seperti di Jepang yang mana harga kendaraan hidrogen saat ini bisa mendapat subsidi hingga 1,7 juta yen atau sekitar Rp 180 jutaan. Contohnya Toyota Mirai FCEV (Fuel Cell Electric Vehicle).
Sebelumnya juga, Eniya sempat mengatakan bahwa pemanfaatan energi hidrogen untuk kendaraan atau transportasi dapat membantu Indonesia mengurangi kuota impor BBM.
"Hidrogen bisa dilahirkan atau bisa diproduksi, jadi tidak ada impor. Bisa diproduksi dari air dengan menggunakan elektrolisa atau solar cell dengan konversi menggunakan elektrolisa lalu menghasilkan hidrogen," kata Eniya saat peresmian Hydrogen Refueling System Toyota di Karawang, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, bahan bakar hidrogen juga mampu berkontribusi mengurangi emisi karbon yang dihasilkan kendaraan bermotor. Sesuai dengan tujuan pemerintah mencapai Net Zero Emission (NZE) 2060.
"Jadi dimanapun kita berada bisa menghasilkan hidrogen dan tentu saja tanpa karbon. Maka penurunan karbonnya akan banyak sekali nanti, selama ini pakai BBM yang dari fosil begitu ganti ini akan sangat bisa menurunkan emisi yang luar biasa," jelas Eniya.