Konten dari Pengguna

Generasi Strawberry: Pelopor Kemajuan atau Penanda Keruntuhan?

Ahmad Rahul Miftahul Haq A
Mahasiswa Akuakultur Universitas Airlangga
13 Juni 2023 5:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Rahul Miftahul Haq A tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Generasi Strawberry. Foto: ShutterStock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Generasi Strawberry. Foto: ShutterStock
ADVERTISEMENT
Menatap masa depan, kita sering kali disuguhi dua gambaran yang kontras; satu membayangkan pencerahan, yang lain meramalkan keruntuhan. Kita hidup di era di mana generasi baru—yang kita kenal sebagai Generasi Strawberry—menjadi subjek perbincangan dan sering kali mendapat stigma negatif. Namun, pertanyaannya adalah, apakah generasi ini merupakan penanda keruntuhan kita atau pelopor kemajuan?
ADVERTISEMENT
Pada pandangan pertama, Generasi Strawberry sering dianggap rapuh dan manja. Mereka dituding tak memiliki keuletan dan ketahanan yang dimiliki generasi sebelumnya. Tapi kita perlu bertanya, apakah penilaian ini tepat? Ataukah hanya refleksi dari ketidakpahaman kita terhadap perubahan generasi?
Untuk memahami konteks lebih dalam, kita perlu mempertimbangkan fakta-fakta tentang generasi ini. Berdasarkan laporan dari Pew Research Center, Generasi Strawberry atau Gen Z, lebih edukatif dibandingkan generasi sebelumnya pada usia yang sama. Mereka lebih terbuka pada ide-ide baru dan berorientasi pada nilai-nilai sosial dan lingkungan yang positif.
Maka muncullah kutipan Albert Einstein yang cukup relevan dalam konteks ini, “Setiap generasi menertawakan mode lama, tetapi mengikuti mode baru dengan religiositas yang sama.” Faktanya, mode baru yang diusung Generasi Strawberry dapat membawa kita ke era baru yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Namun, kita tidak bisa mengabaikan tantangan yang ada. Teknologi telah membentuk generasi ini dalam cara yang belum pernah kita lihat sebelumnya, dan dampaknya tidak selalu positif. Ketergantungan pada teknologi telah mempengaruhi keterampilan sosial dan kesejahteraan mental mereka, sebuah kekhawatiran yang dinyatakan dalam berbagai penelitian, termasuk oleh American Psychological Association.
Mengutip kata-kata perenungan dari Friedrich Nietzsche, "Apa yang tidak membunuh kita membuat kita lebih kuat." Adalah tugas kita sebagai masyarakat untuk memastikan bahwa tantangan ini bukan hambatan, melainkan langkah pertama menuju pertumbuhan dan penguatan.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Tugas kita, sebagai generasi sebelumnya, adalah mendampingi dan membimbing Generasi Strawberry, memanfaatkan potensi mereka sebaik-baiknya, dan memastikan mereka memenuhi harapan tersebut.
ADVERTISEMENT
Jadi, jangan cepat membuat penilaian dan membentuk stereotip. Mereka adalah Generasi Strawberry, bukan karena mereka rapuh seperti buah yang disebut, tetapi mungkin karena mereka adalah produk dari perubahan zaman—segala hal yang baru, segar, dan penuh dengan potensi, sama seperti buah strawberry yang baru dipetik.
Mereka adalah generasi yang tumbuh dengan teknologi digital di ujung jari mereka, sebuah realitas yang sebelumnya tidak pernah dialami oleh generasi lain. Mereka memiliki akses ke informasi yang tidak terbatas dan memiliki potensi untuk memanfaatkannya untuk melakukan perubahan positif.
Dalam sebuah laporan dari McKinsey & Company, Generasi Strawberry dianggap sebagai generasi yang paling inklusif dan berorientasi pada keragaman. Mereka memiliki pandangan yang lebih luas tentang isu-isu sosial, politik, dan lingkungan dan lebih mungkin untuk mengambil tindakan untuk mendukung perubahan.
ADVERTISEMENT
Namun, kita juga perlu sadar bahwa dampak dari teknologi dan perubahan sosial yang cepat ini bisa menjadi bumerang. Menurut penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Abnormal Psychology, ada peningkatan prevalensi gangguan kesehatan mental di antara generasi muda. Perubahan yang pesat ini membawa tantangan baru dalam hal kesehatan mental dan kesejahteraan.
Ada sebuah kutipan bijak yang mengatakan, "Kita tidak mewarisi Bumi dari nenek moyang kita, kita meminjamnya dari anak cucu kita." Itulah sebabnya kita perlu memandang Generasi Strawberry bukan sebagai masalah, melainkan sebagai solusi.
Salah satu cara kita membimbing generasi ini adalah melalui pendidikan. Pendidikan harus beradaptasi dan berevolusi untuk memenuhi kebutuhan generasi baru. Kita harus menyiapkan mereka untuk menghadapi tantangan masa depan, bukan dengan memberikan mereka solusi, tetapi dengan membekali mereka dengan keterampilan dan pemahaman untuk menciptakan solusi mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan UU Sisdiknas yang sama, pasal 3, pendidikan harus berorientasi pada pengembangan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Ini bukanlah tugas yang mudah, tapi kita harus siap menghadapinya.
Generasi Strawberry bukan penanda keruntuhan, tetapi pelopor kemajuan. Kita perlu melihat mereka sebagai bagian dari solusi, bukan masalah. Kita perlu memahami mereka, mendengarkan mereka, dan mendukung mereka. Kita perlu melihat potensi mereka, bukan hanya tantangannya. Kita perlu memandang mereka bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai harapan masa depan. Mereka adalah buah dari masa depan kita, dan masa depan itu ada di tangan kita.