150 Tahun Jadi Teka-teki, Misteri Buaya Bertanduk Akhirnya Terpecahkan

1 Mei 2021 2:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tengkorak buaya bertanduk Voay robustus. Foto: Hekkala, et.al./Nature Communications
zoom-in-whitePerbesar
Tengkorak buaya bertanduk Voay robustus. Foto: Hekkala, et.al./Nature Communications
ADVERTISEMENT
Setelah jadi misteri dalam 150 tahun terakhir, para ilmuwan akhirnya dapat memecahkan teka-teki terkait evolusi buaya bertanduk dengan nama ilmiah Voay robustus. Menurut penyelidikan terbaru dari American Museum of Natural History, buaya bertanduk bisa jadi merupakan salah satu nenek moyang semua buaya di dunia dan bukan kelompok buaya tersendiri.
ADVERTISEMENT
Buaya bertanduk Voay robustus pertama kali ditemukan pada 1872 oleh penjelajah Prancis, Alfred Grandidier dan Leon Vaillant, di Madagaskar. Hewan purba ini tak pernah dilihat secara langsung oleh manusia modern, di mana Grandidier dan Vaillant serta para peneliti lain cuma menemukan fosil tulangnya saja.
Dari tulang-tulang yang ditemukan itulah Voay robustus mendapat nama tenar “buaya bertanduk”. Jika dilihat secara sekilas, tengkorak buaya Voay robustus punya dua benjolan yang mirip seperti tanduk.
Namun, penampilan unik buaya bertanduk ternyata dapat menipu kita yang mengira dia sebagai buaya khusus, yang berbeda dari buaya lain. Menurut ilmuwan, buaya bertanduk bukan kelompok buaya khusus, dan justru merupakan salah satu nenek moyang buaya di dunia.
Ilustrasi buaya bertanduk Voay robustus. Foto: Smokeybjb via Wikimedia Commons
"DNA menceritakan kisah yang berbeda," kata peneliti dari American Museum of Natural History sekaligus penulis utama studi, Evon Hekkala, kepada Live Science. "Itu memberitahu kita berulang kali bahwa penampilan bisa menipu."
ADVERTISEMENT
Dalam risetnya, para peneliti menjelaskan bahwa mereka menyimpulkan hal tersebut setelah menganalisis DNA reptil aneh itu.
Madagaskar sendiri saat ini menjadi rumah bagi Buaya Nil (Crocodylus niloticus). Namun, orang-orang lokal Madagaskar, yang dikenal sebagai Malagasy, selalu bercerita kepada penjelajah Eropa bahwa pulau tersebut sebenarnya punya dua jenis buaya berbeda.
Buaya pertama, kata mereka, berukuran besar dan kuat. Sementara buaya yang lain berbentuk lebih anggun dan suka berada di sungai.
Fosil Voay robustus di American Museum of Natural History. Foto: Gheodoghedo via Wikimedia Commons
Peneliti menjelaskan, buaya anggun yang dimaksud warga lokal adalah Buaya Nil, yang masih dapat ditemukan di Madagaskar sampai saat ini. Adapun buaya besar dan kuat tak pernah ditemukan hidup-hidup, meski pengakuan dari warga lokal menunjukkan bahwa buaya misterius itu dapat lolos dari kepunahan massal di Madagaskar dan sempat dilihat manusia.
ADVERTISEMENT
Sejak manusia datang ke Madagaskar pada 9.000 hingga 2.500 tahun yang lalu, sejumlah spesies unik di pulau itu telah mengalami kepunahan. Di antaranya termasuk kura-kura raksasa, burung gajah, kuda nil kerdil, dan beberapa spesies lemur.
"Buaya (bertanduk) ini bersembunyi di pulau Madagaskar pada saat orang-orang membangun piramida dan mungkin masih ada di sana ketika bajak laut terdampar di pulau itu," kata Hekkala, dalam keterangan resminya di situs American Museum of Natural History.
Adapun dua spesimen tengkorak buaya bertanduk yang diteliti para ilmuwan diperkirakan berasal dari 1.450 dan 1.380 tahun yang lalu. Spesimen ini tergolong muda jika dibandingkan dua spesimen yang ditemukan sebelumnya, yang diperkirakan berasal dari 1.800 dan 2.400 tahun yang lalu.
ADVERTISEMENT
Berbeda dari penuturan warga lokal, peneliti bilang buaya bertanduk bukanlah buaya yang sangat besar. Meski demikian, tengkorak buaya bertanduk cukup besar, membuat para peneliti menamainya ‘robustus’, yang berasal dari kata ‘robust’ (kuat). Adapun istilah 'Voay' di nama ilmiahnya berasal dari bahasa Malagasy yang berarti "buaya yang masih ada".
"Kami tidak memiliki kerangka lengkap, tetapi mereka tidak terlalu panjang," kata Hekkala. "Berdasarkan ukuran tengkorak mereka, ukuran keseluruhan mereka mungkin mirip dengan buaya Nil."
Hingga saat ini, tidak jelas penyebab buaya bertanduk punah. Namun, peneliti menduga bahwa hewan purba ini punah karena kedatangan manusia yang invasif dan perubahan iklim alami.
"Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa beberapa bagian pulau (Madagaskar) menjadi lebih kering," kata Hekkala. "Bisa jadi ini menguntungkan buaya Nil yang baru tiba dan membuat pulau itu lebih tidak ramah bagi buaya bertanduk endemik."
ADVERTISEMENT

Buaya bertanduk: nenek moyang semua buaya?

Buaya bertanduk selama ini jadi misteri bagi para ilmuwan yang hendak mengkategorikannya di dalam pohon evolusi.
Masalah itu tak mengherankan karena buaya bertanduk telah menghilang sebelum manusia punya alat untuk menganalisisnya. Belum lagi, para peneliti tak punya catatan historis yang lengkap soal ekologi Madagaskar dan tulang buaya bertanduk yang ditemukan sangat sedikit.
“Mereka hilang tepat sebelum kami memiliki alat genom modern yang tersedia untuk memahami hubungan makhluk hidup,” kata Hekkala. “Namun, mereka adalah kunci untuk memahami kisah semua buaya yang hidup hari ini.”
Pada tahun 1870-an, saat pertama kali ditemukan, buaya bertanduk dideskripsikan sebagai spesies baru dalam kelompok “buaya sejati” (Crocodylus)--sebuah keluarga besar buaya yang meliputi buaya Nil, Asia, dan Amerika. Kemudian, pada awal abad ke-20, para ilmuwan mengira bahwa buaya bertanduk merupakan kelompok buaya Nil yang sangat tua.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, pada tahun 2007, didasari ciri fisik spesimen fosil, para peneliti menyimpulkan bahwa buaya bertanduk sebenarnya bukan buaya sejati. Ia kemudian dikategorikan dalam kelompok buaya kerdil (Osteolaemus).
“Membongkar hubungan buaya modern sangat sulit karena kesamaan fisik,” kata Hekkala. “Banyak orang bahkan tidak menyadari bahwa ada banyak spesies buaya, dan mereka melihatnya sebagai hewan yang tidak berubah seiring waktu. Tapi kami telah mencoba untuk mengetahui dasar dari keragaman besar yang ada di antara mereka.”
Untuk memeriksa sepenuhnya kategori buaya bertanduk di pohon evolusi, Hekkala dan tim mengurutkan DNA dari dua spesimen yang disimpan di American Museum of Natural History sejak tahun 1930-an.
“Ini adalah proyek yang telah kami coba lakukan selama bertahun-tahun, tetapi teknologinya belum cukup maju, sehingga selalu gagal,” kata George Amato, direktur emeritus dari Museum's Institute for Comparative Genomics sekaligus anggota peneliti.
ADVERTISEMENT
“Tapi pada waktunya, kami memiliki pengaturan komputasi dan protokol paleogenomik yang benar-benar dapat menangkap DNA ini dari fosil dan akhirnya menemukan rumah bagi spesies ini.”
Penempatan buaya bertanduk Voay robustus di pohon evolusi. Foto: Hekkala, et.al./Nature Communications
Hasilnya, para peneliti menempatkan buaya bertanduk tepat di sebelah cabang buaya asli dari pohon evolusi. Artinya, buaya bertanduk adalah spesies buaya yang paling dekat dengan nenek moyang buaya yang hidup saat ini.
“Penemuan ini mengejutkan dan juga sangat informatif tentang bagaimana kita berpikir tentang asal usul buaya sebenarnya yang ditemukan di sekitar daerah tropis saat ini,” kata Amato.
“Penempatan individu ini menunjukkan bahwa buaya sejati berasal dari Afrika. Dan dari sana, beberapa pergi ke Asia dan beberapa pergi ke Karibia dan Dunia Baru. Kami benar-benar membutuhkan DNA untuk mendapatkan jawaban yang benar atas pertanyaan ini.”
ADVERTISEMENT
Penelitian soal buaya bertanduk ini telah terbit di jurnal Nature Communications pada 27 April 2021.