Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2019 ini, wilayah Riau kembali berasap. Menurut data SiPongi, sistem monitoring kebakaran hutan dan lahan (karhutla) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 33 ribu hektare hutan dan lahan di Riau telah ludes terbakar dalam periode di tahun ini, terhitung sampai tanggal 25 Agustus.
ADVERTISEMENT
Hal ini, menurut hasil investigasi terkini dari Eyes on the Forest (EoF), merupakan dampak dari restorasi gambut yang tidak dilakukan dengan serius dan banyak melanggar aturan-aturan. EoF sendiri merupakan koalisi organisasi non-pemerintah yang beranggotakan Walhi Riau, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan (Jikalahari), dan WWF-Indonesia.
Berdasarkan data kesehatan Provinsi Riau yang didapat EoF, pada tahun 2019 ini, terhitung hingga 25 Agustus, sudah ada 21.617 orang di Riau yang terkena ISPA akibat karhutla tersebut. Puluhan ribu korban ini tersebar di beberapa daerah di Riau, antara lain Rokan Hilir, Rokan Hulu, Kampar, Pekanbaru, Kuansing, Inhu, Inhil, Pelalawan, Siak, Kep. Meranti, Bengkalis, dan Dumai. Korban terbanyak ada di Pekanbaru dengan jumlah mencapai 5.355 orang yang terkena ISPA.
Karhutla juga telah menyebabkan kualitas udara di Riau menjadi sangat tercemar. Berdasarkan data Indeks Kualitas Udara (IKU) yang dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Pekanbaru, kualitas udara di Riau sepanjang 20 hingga 25 Agustus 2019 berada di kategori “sangat tidak sehat”.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini telah berlangsung sepanjang minggu ketiga Agustus 2019. Parameter Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) untuk O3 (ozon) tercatat mencapai angka tertinggi hingga 222, sedangkan parameter PM10 mencapai 102,5.
Menurut Okto Yugo, Deputi Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), asap akibat karhutla di Riau paling parah terjadi pada akhir Juli hingga 25 Agustus 2019. Pada awal Agustus saja, jumlah warga yang terkena ISPA meningkat sebanyak 2.000 orang.
Okto mengaku, hingga saat ini pihaknya terus mendesak pemerintah agar melakukan tindakan terkait kesehatan yang mengancam masyarakat. “Kita konteksnya tentu, pertama, kita mendorong pemerintah provinsi, Gubernur Riau, untuk menyediakan fasilitas kesehatan gratis dan terjangkau bagi warga yang terpapar asap itu,” ujar Okto saat ditemui kumparanSAINS di Jakarta, Jumat (30/8).
Menurut Okto, masalah penanganan karhutla di Riau ini sebenarnya sudah berlangsung lama dan cukup pelik. Terutama menyangkut aspek kesehatan masyarakat. Pada 2016 contohnya, perwakilan empat lembaga yakni, Jikalahari, Walhi Riau, LAM Riau, dan Rumah Budaya Sikukeluang, melakukan gugatan citizen lawsuit.
ADVERTISEMENT
Dalam putusan damai yang telah disepakati, kata Okto, pemerintah dituntut untuk menyediakan rumah sakit paru. Selain itu, pemerintah dituntut untuk melakukan tindakan-tindakan evakuasi, penyediaan rumah bebas asap, ketika nilai ISPU di Riau mencapai 400, dengan kategori berbahaya. Namun, hingga saat ini pemerintah belum merealisasikan hal tersebut.
Lebih lanjut, kata Okto, karhutla di Riau diprediksi masih akan terjadi hingga awal Desember mendatang, meski dalam tiga hari terakhir Riau telah diguyur hujan.
“Kalau kita mengacu pada prediksi BMKG, kemaraunya sampai Oktober. Bahkan terakhir dia bilang, awal musim hujan akan terjadi pada Desember. Artinya, potensi kemarau ini masih ada di bulan September dan Oktober ini. Artinya kalau situasinya masih kayak sekarang, ya masih akan terjadi karhutla lagi, terjadi asap lagi, ya korban pasti akan bertambah,” ujar Okto.
ADVERTISEMENT