4 Skenario Cara Akhiri Pandemi Virus Corona COVID-19

9 April 2020 14:18 WIB
comment
15
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sebuah mikrograf elektron transmisi yang tidak bertanggal dari partikel virus SARS-CoV-2. Foto: NIAID Integrated Research Facility (IRF) via REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Sebuah mikrograf elektron transmisi yang tidak bertanggal dari partikel virus SARS-CoV-2. Foto: NIAID Integrated Research Facility (IRF) via REUTERS
ADVERTISEMENT
Kasus virus corona COVID-19 makin bertambah dari hari ke hari. Per Kamis (9/4), virus corona telah menjangkiti 1.518.719 orang di seluruh dunia, dengan di antaranya 88.502 orang meninggal, menurut data Worldometer.
ADVERTISEMENT
Virus corona sangat mudah menular dan telah menyebar ke berbagai negara diseluruh dunia. Bahkan, ada kasus-kasus yang menunjukkan orang positif corona tidak mengalami gejala sama sekali.
Sejumlah negara menerapkan cara masing-masing untuk mencegah penyebaran virus corona makin meluas. Seperti Korea Selatan dan Jerman, yang melakukan tes virus corona massal. Sementara beberapa negara lain menerapkan lockdown, seperti yang dilakukan China dan sejumlah negara Eropa. Adapun sisanya, seperti Indonesia, tidak menerapkan lockdown dan belum melakukan tes secara masif.
Perbedaan penanganan virus corona yang diterapkan setiap negara bisa jadi masalah untuk mengetahui jumlah kasus sebenarnya dan mencegah penyebaran yang lebih luas.
Petugas medis membawa mayat korban virus corona di New York, AS Foto: AFP/Bryan R Smith
Menurut Devi Sridhar, selaku Chair of Global Public Health di University of Edinburgh, ada empat skenario penanganan virus corona untuk menghentikan pandemi. Empat skenario tersebut didasari dari "pemodelan yang telah dipublikasi dan respons berbagai negara terhadap virus."
ADVERTISEMENT
"Pertama adalah pemerintah bersatu untuk menyepakati rencana pemberantasan yang bergantung pada diagnostik layanan rujukan yang cepat dan murah," kata Sridhar, dalam tulisannya di The Guardian. "Semua negara secara bersamaan akan menutup perbatasan mereka untuk waktu yang disepakati dan melakukan kampanye agresif untuk mengidentifikasi pembawa virus dan mencegah penularan."
Menurutnya, Selandia Baru bisa menjadi contoh penerapan ini di mana mereka secara telah menerapkan lockdown dan menggelar tes COVID-19 secara masal bagi masyarakat mereka. Cara pertama ini dianggap masuk akal karena vaksin dan obat COVID-19 belum tersedia, serta kemungkinan imunitas manusia terhadap virus yang efektif dalam jangka pendek dapat menyebabkan gelombang wabah lanjutan.
Sayangnya, sejumlah negara diketahui bakal sulit untuk bekerja sama dengan negara lain. Untuk hal ini, dia merujuk kepada kasus tuduhan Menteri Pendidikan Brazil yang menyebut virus corona adalah cara China untuk 'mendominasi dunia', yang dianggap absurd dan 'sangat rasis' oleh China.
Puluhan Jenazah Pasien Corona Menumpuk di RS Wyckoff, AS Foto: REUTERS/Andrew Kelly
Cara kedua yang lebih moderat, menurut Sridhar, adalah dengan melakukan lockdown secara berselang sembari menunggu vaksin COVID-19 tersedia. Untuk cara ini, otoritas kesehatan mesti mengantisipasi kapasitas fasilitas kesehatan yang ada dan pemerintah suatu negara perlu berhitung soal berapa lama mereka harus menerapkan lockdown di wilayah mereka.
ADVERTISEMENT
"Tapi skenario ini jauh dari ideal. Sistem perawatan kesehatan masih akan tegang, dan biaya ekonomi dan sosial dari lockdown akan tinggi," kata Sridhar. "Lockdown berselang dapat menyebabkan pengangguran massal, peningkatan kemiskinan anak dan kerusuhan sosial yang meluas."
Sridhar menambahkan, di negara-negara yang lebih miskin, penerapan lockdown bisa jadi dilematis karena dapat lebih mematikan bagi warganya, alih-alih virus corona itu sendiri. Masalah kesehatan seperti kekurangan gizi dan dehidrasi karena terbatasnya akses air bersih adalah potensi masalah nyata bagi negara-negara miskin.
Vaksin COVID-19 sendiri diperkirakan baru tersedia pada 2021 mendatang. Uji coba vaksin memang telah dilakukan di sejumlah negara, namun masih dalam tahap awal.
Ilustrasi vaksin Bacillus Calmette Guerin (BCG). Foto: Shutter Stock
Salah satu penyebab ketiadaan vaksin dalam waktu dekat adalah proses uji coba yang bertahap dan lama. Uji coba dan evaluasi vaksin diperlukan agar hasilnya aman dan efektif dalam mencegah orang terinfeksi penyakit.
ADVERTISEMENT
"Seluruh proses akan memakan waktu satu tahun, satu setengah tahun, setidaknya,” kata direktur US National Institute of Allergy and Infectious Diseases, Anthony Fauci, dikutip dari Business Insider.

Skenario tiga dan empat

Skenario ketiga, dan yang paling mungkin, menurut Sridhar adalah pemerintah suatu negara harus melakukan tes secara masif seperti yang dicontohkan Korea Selatan. Sembari menunggu hadirnya vaksin, Korea Selatan meningkatkan tes untuk mengidentifikasi orang yang telah terinfeksi virus corona dan melacak orang-orang yang telah mereka hubungi, sebelum nantinya mengkarantina mereka hingga tiga pekan.
"Ini akan melibatkan perencanaan skala besar, pengembangan cepat dari aplikasi pelacakan kontak, dan ribuan sukarelawan untuk membantu tes swab, memproses hasil, dan memantau karantina," kata Sridhar. "Langkah-langkah menjaga jarak fisik yang lebih santai dapat diberlakukan untuk mencegah penyebaran virus dan mengurangi tekanan pada sistem perawatan kesehatan."
Pelanggan duduk berjarak saat menunggu makanan pesanannya di sebuah restoran cepat saji di Surabaya, Jawa Timur, Senin (6/4). Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Korea Selatan sendiri saat ini telah menguji diagnostik masyarakatnya sebanyak 477.304 tes, menurut Worldometer. Jumlah tersebut membuat mereka telah menguji 9.310 orang per 1 juta penduduk hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Sebagai perbandingan, Indonesia saat ini baru memeriksa 14.354 orang. Itu membuat pengujian yang dilakukan Indonesia hanya berjumlah 52 orang per 1 juta penduduk.
Adapun skenario terakhir dalam penanganan COVID-19 menurut Sridhar adalah dengan mengobati gejalanya daripada penyebabnya. Petugas kesehatan dapat memberikan terapi antivirus yang mencegah kondisi kesehatan pasien memburuk ke titik di mana mereka membutuhkan perawatan intensif dan mencegah mereka dari kematian.
Partikel virus SARS-CoV-2. Foto: NIAID Integrated Research Facility (IRF) via REUTERS
"Solusi yang lebih baik akan menggunakan terapi profilaksis untuk mencegah timbulnya COVID-19, dalam kombinasi dengan tes diagnostik cepat untuk mengidentifikasi mereka yang telah terinfeksi," katanya. "Di negara-negara yang punya sumber daya, ini bisa berkelanjutan--tetapi untuk negara-negara miskin pendekatan ini akan sulit, jika bukan tidak mungkin."
Sebagai catatan, belum ada satupun obat yang teruji secara klinis sebagai 'obat COVID-19'. Sejumlah negara, termasuk Indonesia, saat ini menggunakan obat antivirus dari penyakit lain seperti klorokuin untuk menangani pasien COVID-19.
ADVERTISEMENT
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!