news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

5 Hal yang Menjelaskan Mengapa Kita Mengalami Déjà Vu

19 Desember 2017 9:01 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Deja vu (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Deja vu (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pernahkah kamu berada di suatu situasi yang baru ataupun lingkungan yang benar-benar baru, tapi kamu justru memiliki perasaan familiar yang begitu kuat terhadap situasi atau lingkungan itu? Saat itu kamu mengalami sensasi seolah-olah pernah menghadapi situasi atau lingkungan yang sama sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Jika kamu pernah mengalaminya, sensasi atau perasaan ini lazim disebut sebagai déjà vu. Dalam bahasa Prancis, déjà vu artinya adalah "sudah terlihat". Business Insider melansir, sebuah penelitian memperkirakan sekitar 60 hingga 70 persen dari kita, terutama yang berusia 15 hingga 25 tahun, pernah mengalami déjà vu.
Kamu yang belum pernah mengalami déjà vu mungkin sulit memahami sensasi pengalaman ini. Singkatnya, déjà vu adalah sensasi ketika kamu merasa kejadian atau situasi yang sedang kamu alami pernah kamu lihat sebelumnya, entah dalam mimpimu atau dari manapun, sehingga kamu merasa familiar dengan kejadian atau situasi itu.
Namun ketika kamu mencoba mengingat mimpimu itu, kamu bisanya tak bisa ingat dan bahkan perasaan familiar itu kemudian hilang.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini déjà vu sulit untuk diteliti dan dipastikan penyebabnya karena sensasi atau perasaan itu terjadi amat singkat dan sulit disimulasikan dalam laboratorium percobaaan. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab munculnya berbagai teori yang menyebutkan mengapa otak kita mengalami sensasi aneh itu.
Deja vu (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Deja vu (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
1. Terpicu Secara Kebetulan
Pada 2006 para ilmuwan di Leeds Memory Group mengklaim telah berhassil menciptakan sensasi déjà vu dalam sebuah laboratorium dengan menggunakan hipnosis sebagai pemicu proses bekerja otak dalam mengenali sesuatu.
Percobaan tersebut didasarkan pada teori yang menyebut ada dua proses kunci yang terjadi di dalam otak ketika kita mengenali sesuatu atau seseorang yang familiar.
Pertama, otak kita mencari di dalam memori kita apakah kita pernah melihat situasi tertentu sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Kedua, apabila ternyata situasi atau kejadian yang kita lihat itu cocok, maka area lain di dalam otak kita akan mengidentifikasi situasi atau kejadian itu sebagai sesuatu yang familiar.
Pada orang-orang yang mengalami déjà vu, proses kedua tersebut dapat terjadi karena adanya pemicu-pemicu yang hadir secara kebetulan.
Dalam percobaan di laboratorium itu, para peneliti merekrut 18 relawan. Mereka meminta para relawan itu melihat dan mengingat 24 kata yang dipilih oleh para ilmuwan. Kemudian para relawan itu dihipnotis dan disugesti bahwa ketika mereka diperlihatkan kata-kata dalam bingkai merah, mereka akan merasa kata-kata itu familiar.
Setelah selesai dihipnosis, para relawan diperlihatkan pada sejumlah kata dengan bingkai berwarna yang berbeda-beda, termasuk kata-kata yang tidak masuk dalam daftar 24 kata terpilih tadi. Kata-kata yang yang masuk di dalam daftar 24 kata terpilih itu diperlihatkan kepada mereka dalam bingkai-bingkai hijau.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, meski berhasil mengingat daftar 24 kata itu, 10 dari 18 relawan mengatakan ada sensasi yang aneh ketika mereka diperlihatkan dengan kata-kata di dalam bingkai merah dan 5 dari mereka menyatakan mengalami déjà vu.
Ilustrasi Déjà Vu (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Déjà Vu (Foto: Shutterstock)
2. Loncatan Sirkuit Memori
Selain teori bahwa déjà vu dapat terpicu secara kebetulan, ada pula ilmuwan yang berteori bahwa déjà vu dapat terjadi karena malfungsi di antara sirkuit memori jangka panjang dan jangka pendek di dalam otak. Ini artinya, informasi baru dapat meluncur melalui shortcut (jalan pintas) langsung menuju bagian memori jangka panjang.
Adanya loncatan dalam mekanisme antara memori jangka pendek dan jangka panjang ini berpengaruh dalam proses penyimpanan informasi di dalam otak. Akibatnya kita dapat merasa seolah-olah pernah mengalami kejadian yang pernah kita alami itu di masa lalu.
ADVERTISEMENT
3. Aktifnya Area Rhinal Cortex di Otak
Déjà vu bisa juga disebabkan adanya hal yang salah di rihinal cortex, area otak yang membuat kita merasa familiar terhadap sesuatu. Bagian ini bisa aktif karena dipicu oleh area-area lain di dalam otak yang berhubungan dengan bagian memori.
Hal ini menjelaskan mengapa sangat sulit untuk menentukan hal apa yang terasa familiar ketika kita mengalami déjà vu. Biasanya yang muncul saat déjà vu adalah rasa familiar samar, bukan terhadap objek atau orang tertentu.
Ilustrasi Déjà Vu (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Déjà Vu (Foto: Shutterstock)
4. Ingatan Palsu
Teori lainnya menyebut déjà vu dapat terjadi karena adanya ingatan atau memori palsu. Valerie F. Reyna, salah satu psikolog yang mendukung teori tersebut, mengatakan déjà vu berkaitan dengan ingatan palsu.
ADVERTISEMENT
Ini adalah sejenis efek disosiasi memori. Hal ini memisahkan realitas dari ingatan.
"Terkadang kamu tidak yakin, misalnya, apakah kamu memimpikan sesuatu atau mengalami sesuatu itu, apakah kamu menontonnya di film atau mengalaminya di kehidupan nyata," ujar Reyna.
5. Sinyal untuk Mencegah Ketidaksesuaian Memori
Peneliti di bidang psikologi, Akira O’Connor, menyatakan bahwa ingatan atau memori palsu tidak dapat disalahkan sebagai penyebab déjà vu. Sebab, ingatan palsu bisa jadi adalah sebuah tanda bahwa otak sedang memeriksa ingatannya.
O’Connor dan timnya pernah memindai otak dari 12 relawan. Otak mereka dipindai ketika mereka menjani tes yang dapat memicu munculnya memori palsu.
Tim penelitian itu awalnya mengira akan melihat area-area di otak yang berkaitan dengan memori akan menyala. Akan tetapi, rupanya hal itu tidak terjadi. Yang justru menyala adalah area-area yang berkaitan dalam pengambilan keputusan.
ADVERTISEMENT
"Area otak yang berkaitan dengan konflik memori, ketimbang ingatan palsu, tampak lebih memicu pengalaman déjà vu," kata O’Connor.
Ia menyatakan hal tersebut sejalan dengan gagasan timnya yang mengatakan déjà vu adalah kesadaran atas adanya ketidaksesuaian dalam sinyal memori. Ketidaksesuaian sinyal dalam memori yang perlu diperbaiki inilah yang kemudian terdeteksi dalam sensasi déjà vu.
"Hal ini, pada akhirnya, menjelaskan mengapa kejadian déjà vu tampak menurun seiring bertambahnya usia, meskipun fakta bahwa ingatan palsu (kesalahan ingatan) cenderung meningkat seiring bertambahnya usia. Jika bukan kesalahan, tapi pencegahan kesalahan, ini jauh lebih masuk akal," jelas O’Connor.