news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

5 Teori Konspirasi Baru yang Terbukti Salah: Ada Microchip Pemindai Covid

30 Desember 2021 8:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi teori konspirasi illuminati. Foto: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi teori konspirasi illuminati. Foto: pixabay
ADVERTISEMENT
Teori konspirasi sudah ada sejak beberapa dekade yang lalu, dengan beberapa di antaranya mampu bertahan hingga sekarang. Salah satunya yang cukup terkenal adalah soal teori Bumi datar.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, terutama saat pandemi COVID-19 melanda, banyak teori konspirasi yang berseliweran di media sosial. Ia dituangkan dalam bentuk teks dan video, menyebar lewat pesan singkat dari orang ke orang, dan grup ke grup.
Apa saja teori konspirasi tersebut? Berikut 5 teori konspirasi yang menyebar baru-baru ini.

Vaksin bikin tubuh jadi magnet

Ilustrasi Vaksin COVID-19 Astrazeneca. Foto: Shutter Stock
Sebuah teori konspirasi yang terdengar tidak masuk akal menyebar sejak awal pandemi, yang teori itu menyebut bahwa vaksin COVID-19 punya efek samping membuat tubuh seseorang menjadi magnet.
Informasi ini menyebar lewat video di media sosial, di mana orang-orang di dalam video itu mengatakan bahwa logam, koin, hingga magnet kulkas bisa menempel di tangannya usai divaksin. Mereka menyebut ini merupakan efek vaksin. Teori menyebut, vaksin yang dimasukkan ke tubuh manusia mengandung magnet.
ADVERTISEMENT
Teori ini tentu saja dibantah oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS, sebab bagaimanapun vaksin tidak mengandung magnet atau bahan sejenisnya.
“Yang menarik bagi saya, saya belum pernah melihat siapa pun meletakkan kompas di lengan mereka karena kompas akan terganggu jika diletakkan di medan magnet,” kata Carl Fichtenbaum, spesialis penyakit menular di Fakultas Kedokteran University of Cincinnati.

Jaringan 5G penyebab COVID-19

Ilustrasi logo 5G di pameran MWC 2019 di Barcelona, Spanyol. Foto: Aditya Panji/kumparan
Sinyal 5G yang dipancarkan di tower juga pernah dituding sebagai penyebab pandemi COVID-19 oleh para penganut teori konspirasi. Teori itu mengatakan, tower pemancar sinyal 5G disebut bisa menyebabkan COVID-19 dengan cara menekan sistem kekebalan atau menyebarkan virus SARS-CoV-2 melalui gelombang radio.
Namun, berdasarkan penelusuran Full Fact, lembaga pemeriksa fakta, sampai saat ini tidak ada bukti sinyal 5G menyebabkan COVID-19, sebab beberapa negara yang tidak punya jaringan 5G juga faktanya masih terdampak pandemi corona.
ADVERTISEMENT
“Ini teori sampah. Sistem kekebalan manusia dapat terganggu oleh segala macam hal termasuk kelelahan atau tidak makan (pola makan kurang baik),” ujar Dr. Simon Clarke, profesor mikrobiologi di University of Reading kepada BBC.

Kincir angin bisa sebabkan kanker

Kincir Angin di Kinderdijk. Foto: Ananda Teresia/kumparan
Teori konspirasi ini disebarkan oleh mantan presiden AS, Donald Trump. Dia mengatakan, “Jika kamu punya kincir angin di dekat rumahmu, selamat, rumah kamu 75 persen tidak sehat. Sebab kebisingan (dari kincir angin) bisa menyebabkan kanker.”
American Cancer Society mengatakan bahwa sampai saat ini mereka tidak pernah menemukan bukti konkret hubungan antara suara bising kincir angin dengan kanker. Efek kesehatan buruk disebabkan kincir angin ini telah banyak diperdebatkan dengan istilah tidak resmi “Wind Turbine Syndrome”.
ADVERTISEMENT
Gangguan ini diduga mengacu pada gejala kurang tidur dan kelelahan mental bagi mereka yang tinggal kurang dari 2 kilometer dari turbin angin. Sebuah laporan yang terbit di Journal of Occupational and Environmental Medicine menemukan bahwa tidak ada korelasi yang jelas hubungan antara tinggal di dekat turbin angin dengan Wind Turbine Syndrome atau dengan kesehatan lainnya.

Pentagon kembangkan microchip pelacak COVID-19

Simulasi perang Pentagon di Afrika Barat Foto: Faisal Nu'man/kumparan
Awal 2021, sebuah klaim mengatakan bahwa Departemen Pertahanan AS, Pentagon, membuat microchip pelacak COVID-19 yang dapat disuntikkan ke dalam tubuh. Klaim tersebut banyak dikaitkan dengan pernyataan Matt Hepburn, seorang dokter militer yang pernah bekerja untuk DARPA, Badan Proyek Penelitian Lanjutan Pertahanan AS.
“Saya diperintahkan untuk menyelesaikan pandemi dan membahas proyek penelitian seperti sensor menggunakan sinyal cahaya untuk memindai sebuah penyakit,” kata Hepburn.
ADVERTISEMENT
Hepburn mengatakan bahwa pernyataan itu telah menimbulkan kesalahpahaman. Dia menegaskan, tidak ada cip, elektronik, barang-barang teknologi canggih lainnya yang bisa memberi tahu orang-orang terpapar COVID-19 lewat sensor.
Hepburn mengatakan, adapun teknologi yang dimaksud adalah hidrogel yang dapat dibuat untuk bereaksi dan menyala, jika merasakan peningkatan kadar laktat jaringan di bawah kulit sebagai indikasi seseorang akan jatuh sakit. Singkatnya, itu bukan microchip pemindai COVID-19.

Apakah manusia pernah hidup di Mars?

Planet Mars. Foto: Jurik Peter/Shutterstock
Teori ini disebarkan lewat video TikTok yang ditonton dan disukai ratusan ribu kali. Intinya, teori menyebut bahwa Mars berwarna merah karena debu dari ledakan nuklir dan ada bukti pernah adanya air yang mengalir di Mars namun telah dikeringkan oleh manusia.
Tapi tampaknya teori itu tidak bertahan lama. Berdasarkan keterangan Museum Nasional Sejarah Alam Smithsonian, fosil manusia purba paling tua di Afrika berasal antara 6 juta hingga 2 juta tahun lalu, tetapi masa lalu Mars yang berair terjadi miliaran tahun lalu. Selain itu, permukaan Mars yang merah bukan dikarenakan debu nuklir, tetapi tertutup oleh oksida besi.
ADVERTISEMENT