news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Alasan Guru Indonesia Belum Wujudkan Merdeka Belajar untuk Siswa

28 November 2019 13:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
pelajar SD - POTRAIT Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
pelajar SD - POTRAIT Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pada 2014 lalu, Bank Dunia telah melakukan survei terhadap 200 kelas matematika tingkat sekolah menengah pertama (SMP) di Indonesia. Hasil riset menunjukkan, hanya sekitar 10 persen pembelajaran yang dialokasikan untuk kegiatan diskusi oleh guru di kelas.
ADVERTISEMENT
Kegiatan belajar mengajar lebih didominasi oleh pemaparan materi. Dalam riset tersebut juga dijabarkan, kegiatan eksposisi atau menjelaskan materi mengambil porsi 60 persen dari keseluruhan waktu pembelajaran di kelas.
Soal interaksi di ruang kelas, guru pun lebih banyak mengambil kendali. Mereka berbicara sekitar 75 persen dari waktu pelajaran.
Fakta inilah yang kemudian menjadi salah satu hal yang dikritisi oleh Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan.
Bertepatan dengan Hari Guru Nasional pada 25 November 2019 lalu, menteri termuda yang mengisi kabinet Indonesia Maju itu mengajak para guru menjadi agen perubahan untuk kemerdekaan belajar di Indonesia, dengan cara mengajak siswa berdiskusi. Peserta didik, kata Nadiem, tidak sebaiknya diperlakukan sebagai pendengar yang pasif.
Mendikbud Nadiem Makarim menghadiri peringatan Hari Guru di Kemendikbud, Jakarta, Senin (25/11). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Persoalan yang dihadapi guru dalam memerdekakan peserta didiknya
ADVERTISEMENT
Shintia Revina, peneliti dari SMERU Research Institute, sebuah lembaga di bidang penelitian sosial-ekonomi di Indonesia, menyebut telah banyak program pemerintah yang sebenarnya bertujuan untuk mempromosikan perubahan paradigma dari pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Program yang dimaksud Revina hadir melalui Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) maupun Kelompok Kerja Guru (KKG).
Alasan guru belum mampu mengadopsi pembelajaran yang memerdekakan siswa untuk belajar pun dipertanyakan. Menurut Revina, hal tersebut dipicu oleh cara dan pengalaman guru belajar di bangku kuliah pada masa lalu. Kurangnya rujukan penyelesaian soal dengan variasi metode di buku teks pun ia duga sebagai penyebabnya.
Dalam tulisannya di laman The Conversation, Revina juga mencatat setidaknya ada dua permasalahan mendasar yang dihadapi para guru di Indonesia ketika ingin mengubah cara mengajar mereka agar mampu memerdekakan siswa.
ADVERTISEMENT
Pertama disebabkan karena mereka tidak memiliki pengalaman dengan kemerdekaan belajar, baik ketika mereka dulu masih menjadi siswa, mahasiswa calon guru, maupun ketika menjalani pelatihan sebagai guru dalam jabatan.
Ilustrasi Sekolah Dasar Swasta Bekasi. Foto: Shutter Stock
“Mereka terbiasa mendengarkan penjelasan dari guru dan dosennya dan mengerjakan tugas terstruktur tanpa banyak kegiatan diskusi terbuka untuk mengemukakan pendapat,” tulisnya.
Minimnya pengalaman personal para guru terkait kemerdekaan belajar ini, kata Revina, turut mempengaruhi cara mengajar mereka di hadapan para peserta didik.
Persoalan kedua yang muncul adalah soal keterbatasan referensi, baik dari teks pelajaran maupun buku guru yang diterbitkan oleh pusat perbukuan maupun penerbit swasta. Selama ini para guru kesulitan memperoleh rujukan terkait bagaimana memfasilitasi pembelajaran yang berpusat pada siswa dengan efektif.
ADVERTISEMENT
“Buku teks yang ada saat ini, baik buku siswa maupun buku guru, dinilai berkualitas rendah,” imbuh Revina.
Bagaimana upaya guru untuk memerdekakan peserta didiknya?
Menurut Revina, guru seharusnya memberi kebebasan kepada para siswanya untuk memilih strategi yang bisa diterapkan dalam pembelajaran di kelas sejak sekolah dasar. Dengan begitu, kemerdekaan belajar siswa bisa diwujudkan. Upaya tersebut sekaligus dapat kembangkan daya nalar para siswa agar tak sekadar menghafal prosedur maupun rumus.
Ilustrasi guru di sekolah inklusi Foto: Shutterstock
Model soal-soal high order thinking skills (HOTS) atau keterampilan berpikir tingkat tinggi yang selama ini diadopsi oleh sistem pendidikan kita sebaiknya mulai ditinggalkan. Sebab, model soal HOTS bahkan tidak dipahami dengan baik oleh para guru hingga saat ini.
Sebagai penggantinya, guru dapat memulai dengan soal yang sederhana, namun memberikan kebebasan berpikir kepada siswa agar dapat menemukan strategi belajar yang tepat untuk diri mereka.
ADVERTISEMENT
Revina juga mengingatkan bahwa untuk mencapai itu semua, guru tetap membutuhkan dukungan dari semua pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, manajemen sekolah, orang tua siswa, maupun masyarakat luas. Dukungan tersebut salah satunya bisa dalam bentuk pendidikan dan pelatihan guru yang tepat baik secara isi maupun bentuk, keselarasan antara kurikulum dan penilaian hasil belajar siswa serta penyajian buku teks dan buku panduan guru yang sesuai dengan semangat memerdekakan belajar.
Revina kemudian menutup tulisannya dengan mengutip pernyataan Nadiem yang menyebut, ketika perubahan di tempat lain belum dapat terwujud, maka guru bisa memulainya dengan langkah inisiatif di ruang kelas.
“Ketika perubahan kecil ini dilakukan secara konsisten dan serentak, kemajuan pendidikan di Indonesia tidak hanya lagi menjadi sekadar impian,” tutupnya.
ADVERTISEMENT