Apa Itu Demam Babi Afrika? Penyakit yang Diduga Bunuh 880 Babi di Bali

5 Februari 2020 17:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi babi liar. Foto: University of Georgia
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi babi liar. Foto: University of Georgia
ADVERTISEMENT
Pemerintah setempat tengah melakukan penyelidikan terkait kematian sekitar 880 babi di Provinsi Bali. Untuk menangani kasus ini, Direktur Kesehatan Hewan dari Kementerian Pertanian, pada Rabu (5/2), langsung turun tangan.
ADVERTISEMENT
Diduga, babi-babi tersebut mati akibat demam babi afrika (african swine fever/ASF). Dilaporkan Reuters, kematian babi-babi itu berlangsung sejak Desember 2019 hingga Januari 2020.
Sebelumnya, demam babi afrika juga telah menewaskan lebih dari 43.000 babi di Provinsi Sumatra Utara. Pemerintah setempat kemudian mengisolasi daerah yang terkena dampak.
Untuk kasus yang terjadi di Bali, hingga saat ini belum dipastikan apakah benar kematian babi-babi di sana akibat wabah demam babi afrika atau bukan.
“Kami berupaya menghentikan kematian babi dengan standar operasional untuk penyakit hewan menular seperti untuk ASF, sambil terus menyelidiki apakah penyebabnya benar-benar ASF atau yang lainnya,” ujar Fadjar Sumping Tjatur Rassa, Direktur Kesehatan Hewan Kementan, kepada Reuters.

Demam babi afrika (african swine fever)

African swine fever (ASF) atau demam babi afrika adalah penyakit menular pada babi sebagai hewan ternak dan babi liar. Penyakit ini disebabkan oleh virus DNA dari keluarga Asfarviridae, yang juga menginfeksi kutu bertubuh lunak dari genus Ornithodoros.
ADVERTISEMENT
Gejala ASF sebenarnya tak berbeda jauh dengan classical swine fever (CSF) atau yang biasa disebut dengan virus kolera babi (hog cholera). Namun, virus yang menyebabkan kedua penyakit ini jelas berbeda. ASF banyak menjangkiti babi liar dan babi domestik di wilayah Asia, Eropa dan Afrika.

Penyebaran

Penyebaran demam babi afrika bisa bergantung pada beberapa hal, misalnya lingkungan, jenis produksi ternak babi, ada atau tidaknya kutu yang menempel pada tubuh babi, perilaku manusia serta ada atau tidaknya babi liar di sekitar.
Antar babi, penularannya bisa terjadi karena kontak langsung dengan babi liar atau babi yang terinfeksi serta melalui konsumsi bahan yang terkontaminasi misalnya dari limbah makanan, pakan, atau sampah. Sedangkan pada manusia, demam babi afrika ini dipastikan tidak menular.
Ilustrasi babi di peternakan. Foto: REUTERS/Stringer

Gejala klinis

Gejala demam babi afrika ditandai dengan demam tinggi, depresi, anoreksia dan kehilangan nafsu makan, pendarahan pada kulit (kemerahan pada telinga, perut dan kaki), keguguran pada induk babi yang tengah hamil, sianosis (kondisi warna kebiru-biruan pada kulit dan selaput lendir karena kekurangan oksigen dalam darah), muntah, diare, dan kematian dalam jangka waktu 6-13 hari (atau hingga 20 hari).
ADVERTISEMENT
Tingkat kematian tertinggi akibat penyakit ini bisa sampai 100 persen. Sementara angka kematian lebih rendah, berkisar 30-70 persen.
Gejala penyakit kronis akibat demam babi afrika meliputi penurunan berat badan, demam intermiten, gangguan pernapasan, borok kulit kronis, dan radang sendi.
Tak semua jenis babi mengalami gejala klinis yang sama saat terinfeksi virus ASF. Babi liar di Afrika misalnya, dapat terinfeksi tanpa menunjukkan tanda-tanda klinis sebelumnya yang memungkinkan mereka telah bertindak sebagai reservoir.

Diagnosis

Deteksi demam babi afrika bisa dilakukan dengan tes laboratorium, terutama untuk membedakannya dari CSF. Panduan tentang tes diagnostik untuk ASF dapat ditemukan dalam Manual Tes Diagnostik dan Vaksin untuk Hewan Terestrial.

Pencegahan

Saat ini, belum ada vaksin untuk mencegah demam babi afrika. Upaya pencegahan di negara-negara yang bebas dari penyakit tergantung pada penerapan kebijakan impor yang tepat dan langkah-langkah biosekuriti, yakni dengan memastikan bahwa tidak ada babi yang hidup maupun produk olahan daging babi yang masuk ke dalam wilayah yang bebas ASF.
ADVERTISEMENT
Upaya pencegahan lainnya yakni dengan memastikan pembuangan limbah makanan yang benar dari pesawat terbang, kapal, atau kendaraan yang berasal dari negara-negara yang terkena dampak serta mengawasi impor ilegal babi hidup dan produk babi dari negara-negara yang terkena dampak.
ASF telah menyebar ke seluruh China sejak pertama kali terdeteksi di sana pada Agustus 2019 lalu. Wabah ini berhasil memusnahkan lebih dari 40 persen ternak babi di dunia.
Pada Desember 2019, China mengeluarkan perintah larangan untuk mengimpor babi, babi hutan, dan produk-produk terkait dari Indonesia karena isu ASF.
Daging dan produk olahan babi tidak diizinkan untuk meninggalkan daerah yang terkena dampak di Sumatra Utara, dan orang-orang yang telah melakukan kontak dengan hewan yang terinfeksi harus melalui screening kesehatan.
ADVERTISEMENT