Apatis dengan Isu yang Sedang Hangat, Kok Bisa?

3 Oktober 2019 16:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi apatis terhadap media. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi apatis terhadap media. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Berbagai isu mendera tanah air sepanjang September 2019. Dari kecelakaan maut di Tol Cipularang, meninggalnya Presiden ke-3 RI, karhutla, hingga demo mahasiswa di berbagai daerah.
ADVERTISEMENT
Media mainstream dan media sosial pun kemudian berbondong-bondong mewartakannya. Tak terkecuali Twitter. Selama isu-isu tersebut menguap, netizen akan mempopulerkan tagar-tagar terkait hingga menjadi trending. Di antaranya #IndonesiaDaruratAsap, #GejayanMemanggil, hingga #TolakRUUKPK.
Dalam satu sisi, bombardir isu dapat memicu seorang individu bahkan kelompok untuk bergerak. Misalnya, ketika anak-anak STM turut serta dalam demonstrasi mahasiswa di depan komplek DPR, Selasa (24/9).
Yang kemudian kepedulian itu terus terhubung berantai dengan kepedulian lainnya. Salah satunya aksi penggalangan dana oleh mantan vokalis Banda Neira, Ananda Badudu. Penggalangan dana tersebut diperuntukkan untuk makanan, minuman, dan mobil komando yang dipakai mahasiswa untuk berdemo.
Selain itu penumpang kereta di Manggarai juga turut memberikan apresiasi kepada perjuangan mahasiswa. Dalam sebuah video, para penumpang tampak bertepuk tangan saat mahasiswa melintasi stasiun.
ADVERTISEMENT
Namun, apakah semua orang punya kepedulian yang sama? Atau malah ada yang bersikap cuek dan tidak mau tahu?
Di Indonesia, kajian seputar kepedulian ini memang belum bisa ditemukan. Namun, kasus apatisme terhadap sebuah peristiwa besar, pernah dikeluhkan oleh seorang perempuan di Amerika Serikat. Wanita itu menyebut dirinya sebagai “Apathetic Idealist” kepada kolumnis the New York Times pada tahun 2018.
Luapan informasi yang dilayangkan media justru membuat dirinya menjadi resisten terhadap informasi-informasi yang beredar. Meskipun mengaku marah dengan segala bentuk ketidakadilan dan diskriminasi, tapi dia tetap apatis. Tidak mau terlibat dalam "aksi nyata.”
Merespon hal tersebut Roxane Gay, kolumnis yang dituju si “Apathetic Idealist” yakin, banyak orang yang merasa senasib dengan perempuan tersebut.
ADVERTISEMENT
“Memang sangat sulit untuk memperluas batas empati kita ketika perhatian emosional kita sudah terlalu tipis,” katanya.
Bahkan, fenomena “Apathetic Idealist” itu juga sudah ditandai dalam ilmu psikologi. Yakni fenomena yang dinamai “compassion fatigue” atau kelelahan berbelas kasih.
Charless Figley. Foto: Facebook/Charless Figley
Dipelopori oleh Dr. Charless Figley, seorang Profesor Kesehatan Mental Bencana di Universitas Tulane, compassion fatigue merupakan istilah yang lazim digunakan untuk mengenali sikap seseorang yang lelah memberikan belas kasihnya.
Seorang spesialis compassion fatigue, Juliette Watt, di atas panggung presentasi TED yang berkolaborasi dengan kota kecil di Amerika Serikat bernama Fargo juga menjelaskan panjang lebar mengenai definisi compassion fatigue.
“Kelelahan welas asih adalah sindrom berbahaya gelap yang merayapi dirimu. Kamu tidak tahu apa itu. Kamu tidak mengenal dirimu. Kamu hanya tahu ada sesuatu yang sangat salah dan kamu tidak merasa seperti dirimu lagi,” ujar Watt.
ADVERTISEMENT
Watt menyebut, compassion fatigue tidak hanya dialami oleh para pekerja sosial yang terbiasa memberikan pertolongan kepada orang lain seperti perawat, pemadam kebakaran, hingga relawan. Namun, kelelahan bersimpati ini bisa dialami oleh siapa saja, tidak terpaut usia.
Fenomena ini akan diawali dengan tiga simptom yang mengiringi. Pertama, perasaan jengkel dalam frekuensi yang sering dan mudah frustasi. Kedua, merasa tidak berharga dan sangat sedih. Lalu yang terakhir, mengisolasi diri sendiri dan memutuskan hubungan dengan semua orang, termasuk keluarga.
Lebih lanjut, sebagai seorang spesialis di bidang ini, Watt menyebutkan bahwa 3 simptom yang diderita penyandang compassion fatigue adalah harga atas apa yang telah mereka lakukan kepada orang lain dan harga atas hilangnya diri sendiri mengabdikan diri untuk orang lain.
Ilustrasi apatis terhadap media. Foto: Shutter Stock
Tidak lama setelah konsep ini muncul sebagai kajian psikologi, istilah compassion fatigue yang dilansir The Guardian juga menjadi kajian dalam ranah media. Seorang jurnalis dan cendekiawan, Susan Moellar dalam bukunya yang berjudul, “Compassion Fatigue: How the Media Sells Disease, Famine, War and Death,” mengeksplorasi ide mengenai compassion fatigue.
ADVERTISEMENT
"Tampaknya seolah-olah media bergerak dari satu trauma ke trauma lain, dalam perjalanan kemiskinan, penyakit, dan kematian. Volume berita buruk mendorong masyarakat untuk 'jatuh pingsan karena kelelahan',” tulis Moellar dalam bukunya.
Akibat perasaan lelah tersebut, Susan Sontag juga menulis dampak negatif yang timbul akibat masyarakat kebanjiran berita negatif. Dalam bukunya yang berjudul Regarding the Pain of Others, ia mengungkapkan, “kita kehilangan kapasitas untuk bereaksi, dan rasa belas kasih akan mati rasa. Kesalahan siapa itu - milik kita atau media? Dan apa yang harus kita lakukan?”
Dikutip dari The Guardian, untuk mengurangi sikap apatis tersebut, artikel terapis keluarga yang ditulis pada November 2011 menyarankan beberapa tips untuk mengurangi simptom ini. Pertama, perlu untuk kita "mempersonalisasi tragedi". Personalisasi tragedi ini berarti membaca masing-masing kisah para korban dengan nama, bukan anonymous. Personalisasi tragedi dapat memantik sisi humanis kita agar peduli terhadap apa yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Yang kedua, paksakan untuk melawan perasaan lelah tersebut dengan mencari tragedi yang lebih dekat dengan lokasi kita. Proximity menjadi kunci untuk menumbuhkan simpati, sebab belas kasih akan menjadi bentuk yang terukur, pertolongan dapat digalakkan, dan gerakan dapat diatur.
Juliette Watt. Foto: Facebook/Juliette Watt
Namun, jika kita mulai merasa berhak atas sikap apatis tersebut, atau bahkan merasa benar sendiri tentang sikap apatis kita, berhati-hatilah, perasaan tersebut telah terindikasi sebagai kemalasan moral.
Namun lain cerita dengan Juliette Watt, ia justru menganggap perasaan apatis untuk sementara waktu bukanlah sebuah kesalahan dan kejahatan.
“Kelelahan bersikap peduli adalah sesuatu yang sangat nyata. Dan tidak, itu bukan karena kamu lelah bersikap baik,” ujar Watt
Menurutnya, pilihan untuk menarik diri dan lebih memprioritaskan diri sendiri adalah hal yang normal. Ia menyarankan agar kita lebih mendahulukan kebutuhan kita. Watt bercerita bahwa ia mulai mengisi ruang ‘belas kasih’ nya yang sebelumnya terkuras kosong akibat terlalu peduli dengan orang lain, dengan menemukan kedamaian-kedamaian kecil untuk dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
"Penghakiman, pengukuhan, keheranan orang-orang pada keegoisanmu, dan oh astaga, mungkin orang-orang tidak menyukai kamu lagi, tapi inilah cara yang sangat penting jika kamu tidak bisa menjaga kebahagiaanmu sendiri terlebih dahulu, bagaimana bisa kamu menjaga orang lain?" tutur Watt.
Setelah bergulat selama 40 tahun dengan compassion fatigue dan mulai berdamai dengan melakukan hal-hal yang ia sukai, Watt kini dikenal sebagai orang yang sangat welas kasih dengan lingkungan.
Watt kemudian menjadi pilot ATP dan Master Flight Instructor. Ia kemudian bekerja selama 10 tahun di Best Friends Animal Sanctuary di Utah. Lewat pekerjaannya tersebut, ia melakukan misi penyelamatan di New Orleans untuk menyelamatkan anjing-anjing yang dilecehkan dan ditinggalkan setelah Badai Katrina berlalu. Karena kepedulian dan aksinya tersebut, lebih dari 6.000 hewan telah terselamatkan.
ADVERTISEMENT