Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
“Mengerikan. Mimpi buruk,” kata Emily Talen, ilmuwan desain perkotaan di The University of Chicago, AS. Terlepas dari pengumuman yang kontroversial, teknologi kota semacam ini belum pernah ada di dunia.
Desain Line
Rencana pembangunan mega proyek yang disebut The Line ini pertama kali diumumkan oleh Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman pada 10 Januari 2021 dalam situs web dan rilis resmi dari kerajaan. Isinya menyerukan pembangunan jalur sejauh 170 kilometer di kota Neom , sebuah kota di barat laut Arab Saudi.
Pemerintah Saudi menyebut daerah itu belum berkembang, tapi telah menjadi rumah bagi 20.000 kelompok suku Huwaitat yang memprotes penggusuran akibat dampak proyek kota baru tersebut.
Nantinya jalur ini akan dibangun dalam tiga lapisan. Lapisan pertama ada di permukaan berupa taman dan ruang terbuka bagi pejalan kaki. Lapisan kedua ada di bawah permukaan yang diisi dengan berbagai layanan publik. Lapisan ketiga disebut Sniper Layer, berisi teknologi buatan (AI), termasuk moda transportas i berkecapatan tinggi.
Jalur ini juga mengusung tema ramah lingkungan, tanpa mobil atau dengan kata lain non-karbon. Dalam pengumuman itu juga disebutkan bahwa semua layanan publik bisa diakses hanya dalam waktu 5 menit. Sementara perjalanan antartitik transit berkecepatan tinggi hanya akan memakan waktu tidak lebih dari 20 menit.
ADVERTISEMENT
Dalam situs NEOM dikatakan bahwa nantinya proyek tersebut bakal menyambungkan empat ekologi utama Ridge of Reef yang terbentang dari Laut Merah di sebelah barat ke Pegunungan Tabuk di ujung Timur, menghubungkan laut dan pesisir, gurun pasir, pegunungan, dan dataran tinggi.
Sayangnya, beberapa ahli skeptis akan rencana ini. Kritik disampaikan oleh Elizabeth Plater-Zyberk, seorang profesor arsitektur di University of Miami, AS. Ia mengatakan untuk mendukung tingkat transportasi umum, jalur tersebut akan membutuhkan titik penghubung lebih besar yang mampu menampung lebih banyak orang. "Jika hanya ada beberapa ratus orang di setiap perhentian, kamu tidak akan mendapatkan keuntungan dari investasi infrastruktur itu," katanya.
Selain itu, masih belum jelas apakah ada teknologi sistem transit The Line yang mampu melaju dengan sangat cepat. Mengingat melakukan perjalanan sejauh 170 kilometer dengan waktu tempuh 20 menit dibutuhkan kecepatan transportasi 512 kilometer per jam. Kecepatan ini melampaui kemampuan kereta tercepat yang ada saat ini.
Kereta Eurostar di Eropa, misalnya, dapat melaju dengan kecepatan sekitar 390 kilometer per jam, sementara kereta cepat di China punya kecepatan sekitar 380 kilometer per jam. Pod Hyperloop, sebuah mode transportasi yang melaju di bawah tanah punya kecepatan diperkirakan mencapai 463 kilometer per jam tanpa penumpang. Tapi teknologi ini juga belum bisa diterapkan.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun, membangun kota di tengah gurun pasir akan sangat sulit dilakukan. Jika Arab Saudi tetap ngotot ingin melakukannya, maka semua ini akan menjadi tantangan yang sangat besar.
"Haruskah semua sumber daya ini digunakan untuk membangun kota baru di tengah gurun?" kata Talen. "Bagaimana itu masuk akal bila kamu memiliki banyak masalah perkotaan di sekitar kamu yang perlu diperbaiki?"
Terlebih, banyak kota yang dibangun hanya untuk melayani turis asing. Sedangkan penduduk aslinya bakal terpinggirkan. Hal ini sudah terjadi di Dubai, Uni Emirat Arab, di mana pemerintah setempat hanya mementingkan konglomerat asing yang ingin membeli rumah kedua. Ini juga tidak menutup kemungkinan akan terjadi di kota baru The Line.