Bagaimana Nasib Satwa Langka Indonesia yang Terdampak Karhutla?

17 September 2019 19:24 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah Orang utan Kalimantan terlihat di Pulau Salat  di tengah kabut asap yang menyelimuti di Marang, Palangka Raya, Kalimantan. Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah Orang utan Kalimantan terlihat di Pulau Salat di tengah kabut asap yang menyelimuti di Marang, Palangka Raya, Kalimantan. Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti
ADVERTISEMENT
Tak hanya mengancam kesehatan warga, kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia beberapa bulan terakhir turut mengintai kehidupan satwa endemik yang hidup di dalamnya. Di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang terletak di Provinsi Riau dan Jambi misalnya, di sana merupakan habitat harimau sumatra, gajah sumatra, tapir, dan orang utan.
ADVERTISEMENT
Nasib hewan-hewan tersebut kini dipertaruhkan akibat respons pemerintah yang terkesan lambat menangani dampak karhutla. Padahal, keberadaan sebagian dari satwa endemik itu telah terancam punah.
Aditya Bayunanda, Direktur Policy & Advocacy World Wide Fund for Nature Indonesia (WWF-Indonesia), menyebutkan bahwa ancaman terbesar spesies langka seperti gajah, harimau, dan orang utan bukanlah perburuan, melainkan karena mereka kehilangan habitatnya.
“Sehingga terpaksa, hewan-hewan itu berkonflik dengan manusia,” kata Aditya saat membeberkan efek domino dari karhutla yang menyebabkan kematian spesies langka di acara media briefing WWF-Indonesia bertajuk “Indonesia Darurat Karhutla dan Upaya Penyelamatan Hutan yang Tersisa” di Graha Simatupang, Jakarta Selatan, Selasa (17/9).
Sejumlah orang utan Kalimantan terlihat di Pulau Salat di tengah kabut asap yang menyelimuti di Marang, Palangka Raya, Kalimantan. Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti
Menurut Aditya, kebakaran hutan menjadi penyebab hilangnya habitat spesies langka. “Semua vegetasi di sana hilang. Misalnya vegetasi yang menjadi pakan gajah,” ujar Aditya mencontohkan.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, gajah-gajah ini tidak punya pilihan lain. Mereka terpaksa mencari sumber makanan yang tersedia di perkebunan warga. Padahal, itu bukan sesuatu hal yang tidak menimbulkan risiko.
Gajah-gajah itu, kata Aditya, kerap dianggap sebagai hama. “Inilah yang menjadi salah satu penyebab kematian terbesar karena banyak kasus gajah meninggal akibat diracun,” ujarnya.
Petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh bersama tim dokter hewan mengevakuasi anak gajah liar yang terjerat di kawasan hutan. Foto: ANTARA FOTO/BKSDA Aceh-dr Fajri
Semakin sempitnya habitat-habitat satwa endemik ini, maka semakin besar pula peluang timbulnya konflik dengan manusia. Sayangnya, menurut Aditya, proses evakuasi terhadap satwa langka yang telah kehilangan habitatnya bukanlah jalan keluar.
“Mau dievakuasi ke mana? Itu sulit. Banyak orang utan yang rescued dari konflik-konflik yang terjadi kemudian dibawa ke pusat rehabilitasi. Sekarang, kesulitan mau dilepas ke mana. Banyak sekali dari mereka yang ending-nya di pusat-pusat rehabilitasi. Sama halnya dengan gajah,” tutur Aditya.
ADVERTISEMENT
Keberlangsungan hidup satwa endemik bisa dibilang sangat bergantung pada habitat mereka. Oleh karenanya, Aditya menyerukan pentingnya restorasi habitat untuk spesies-spesies yang dilindungi.
“Alternatifnya hampir tidak ada. Mau dibawa kemana? Ke kebun binatang pun itu bukan alternatif. It’s not possible,” sambungnya.
Petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh bersama tim dokter hewan mengevakuasi anak gajah liar yang terjerat di kawasan hutan. Foto: ANTARA FOTO/BKSDA Aceh-dr Fajri
Aditya meyakini, satu-satunya jalan menyelamatkan spesies langka di Indonesia adalah dengan menyelamatkan habitatnya. Hal ini pula yang menjadi fokus dari WWF-Indonesia ke depan.
“Seperti yang kita saksikan saat ini, hutan di Sumatera tersisa tinggal sedikit. Kalau itu berkurang, maka yang akan terjadi semakin banyak konflik-konflik yang notabene ending-nya akan berakhir dengan semakin banyaknya satwa-satwa kita yang kemungkinan tidak akan survive.”