Bagaimana Pengalaman Indonesia Tangani Kasus Flu Burung, MERS, SARS?

12 Februari 2020 10:14 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi virus corona. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi virus corona. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Kasus kematian akibat virus corona jenis baru (novel coronavirus) mencapai 1.018 korban jiwa, dengan total 43.103 kasus hingga Selasa (11/2). Namun sejauh ini, belum ada satu pun kasus pasien positif virus corona di Indonesia. Beberapa pihak menyangsikan klaim tersebut, salah satunya peneliti Harvard University T.H. Chan School of Public Health di Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Merespons hal itu, Kementerian Kesehatan menegaskan Indonesia telah dibekali kemampuan untuk mengindentifikasi virus corona novel dengan adanya Litbang Kemenkes sebagai laboratorium nasional untuk penyakit yang baru muncul. Tempat itu disebut sudah berpengalaman karena pernah menangani kasus flu burung dan MERS.
"Pada dasarnya pemeriksaan terhadap virus yang baru muncul ini menggunakan pendekatan biomolekuler. Yakni pendekatan dari genomic-nya, sehingga pemeriksaan menggunakan PCR atau Polymerase Chain Reaction. Jadi artinya dengan suatu penggandaan DNA atau RNA, apakah betul itu adalah RNA dari coronavirus," ujar dr Siswanto, Kepala Balitbang Kemenkes, di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (10/2).
"Jadi saya hanya ingin katakan bahwa selama ini ada berita-berita yang menyangsikan. Jadi kita mampu karena kita sudah pengalaman dalam Flu Burung hingga MERS," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Pernyataan itu kemudian menimbulkan pertanyaan: Bagaimana sebenarnya penanganan kasus flu burung, MERS, dan juga SARS di Indonesia?

Flu Burung

Di Indonesia, kasus manusia terinfeksi flu burung pertama kali muncul 2005. Sebagaimana dikutip jurnal ilmiah Nature, saat itu Indonesia menjadi negara keempat di Asia Tenggara yang melaporkan warganya positif terjangkit virus H5N1. Di tahun yang sama, korban tewas akibat flu burung telah mencapai 54 orang yang tersebar di Vietnam, Kamboja, dan Thailand.
Kasus flu burung pertama di Indonesia menimpa seorang pria yang bekerja di sebuah peternakan. Hasil identifikasi mengungkap ia terinfeksi virus dari ayam peternakan yang sakit. Sebelumnya, total ada 81 orang diduga terpapar virus dari lokasi yang sama. Namun usai seluruh sampel darah diuji di laboratorium di Hong Kong, hanya satu orang yang dinyatakan positif terjangkit flu burung.
ADVERTISEMENT
Pada awal merebaknya kasus flu burung di Indonesia, spesimen yang diduga terinfeksi virus masih diperiksa di laboratorium rujukan WHO, yaitu di Universitas Hong Kong dan CDC Atlanta untuk konfirmasi. Namun sejak Agustus 2006, pemeriksaan untuk konfirmasi kasus flu burung sudah dapat dilakukan di Indonesia dengan kolaborasi Balitbangkes, Lembaga Eijkman Jakarta, dan Unit Riset Medis Angkatan Laut Dua (NAMRU-2).
Ilustrasi virus flu burung. Foto: Shutter Stock
Menurut laporan Kementerian Kesehatan pada Desember 2006, Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi (Puslitbang BMF) di Balitbangkes Departemen Kesehatan RI ditetapkan sebagai laboratorium rujukan nasional untuk diagnosis flu burung di Indonesia. Setiap orang yang diduga terinfeksi flu burung akan dirujuk ke rumah sakit pilihan pemerintah.
Pedoman untuk pengambilan, penanganan, dan pengiriman spesimen dari pasien terduga terinfeksi flu burung ditetapkan oleh Puslitbang BMF. Spesimen diambil dalam bentuk usap hidung dan tenggorokan selama tiga hari berturut-turut, dan langsung dikirim ke Puslitbang BMF. Sementara sampel darah vena pasien diambil pada hari pertama dan 10-14 hari sesudahnya, atau bila pasien akan dipulangkan atau meninggal dunia.
Ilustrasi virus MERS. Foto: Shutter stock
Selanjutnya, Puslitbang BMF melakukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan ini berupa RT-PCR atau Reverse Transcriptuse Polymeruse Chuin Reaction, baik secara gel-based maupun real-time, untuk mendeteksi adanya RNA virus influenza A (H5N1). Selain itu, pemeriksaan serologi juga dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap virus H5N1.
ADVERTISEMENT
Sejak muncul pertama kali di Indonesia pada 2005 hingga Oktober 2017, WHO mencatat H5N1 telah menjangkiti 200 penduduk dengan jumlah kematian mencapai 168 jiwa. Penyakit ini memiliki gejala antara lain muntah, diare, gusi berdarah, nyeri dada, mimisan, hingga infeksi paru-paru dan kegagalan multi-organ.

MERS

Sedangkan untuk kasus MERS, yang masih satu keluarga dengan SARS dan novel coronavirus, belum ditemukan satupun kasus positif MERS di Indonesia. Penyakit ini lebih banyak menyerang penduduk di Timur Tengah sejak September 2012. Namun ancaman MERS-CoV perlu diwaspadai.
Sebagai upaya kesiapsiagaan, Indonesia telah menyusun pedoman pemeriksaan laboratorium untuk virus MERS-Cov. Mengutip dari dokumen Pedoman Pengambilan Spesimen dan Pemeriksaan Laboratorium yang diterbitkan Kemenkes, jenis spesimen yang wajib diperiksa meliputi dahak pasien, kombinasi usap hidung dan tenggorokan, swab nasofaring, dan serum untuk serologi atau deteksi virus.
Petugas medis menunjukkan sampel yang diambil dari pasien yang diduga terkena virus corona di tempat karantina di Wuhan, China. Foto: STR / AFP
ADVERTISEMENT

SARS

Adapun situasi Indonesia saat wabah SARS terjadi dapat dikatakan tidak jauh berbeda dengan flu burung dan MERS. Menurut laporan di laman situs web resmi Depkes RI, sampai dengan 8 Mei 2003, ada 5 kasus suspect dan 2 kasus probable SARS di Indonesia. Seluruh pasien sudah sembuh dan dipulangkan dari rumah sakit.
Sebagai antisipasi SARS, pemerintah menunjuk 34 rumah sakit sebagai rujukan penanggulangan SARS. Seluruh rumah sakit tersebut telah dibekali pelatihan, mulai dari cara pengambilan hingga pengiriman spesimen oleh tenaga ahli dari Emory University, Atlanta dan NAMRU. Masing-masing rumah sakit juga telah dilengkapi dengan perangkat-perangkat untuk keperluan pemeriksaan laboratorium.