Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Seorang kawan pernah bercerita. Kala itu, dia tengah berada di rumahnya sendirian. Pikirannya gelap. Pandangannya hanya tertuju pada satu sudut kamarnya.
ADVERTISEMENT
Kamar kontrakan yang awalnya diisi berdua, kini hanya diisi satu orang. Putus cinta, rupanya.
Benaknya karut marut. Maka, ia memutuskan untuk kembali ke rumahnya di bilangan Parung. Dengan pikiran entah melayang ke mana, ia memacu sepeda motornya.
Dan di tengah perjalanan, entah mengapa, ia melaju lebih kencang menuju ke sebuah mobil yang perlahan berhenti di persimpangan lampu merah. Alih-alih memelan, ia semakin memacu laju motornya.
“Aku mau tabrak mobil itu,” ceritanya.
Mendadak datang, pikiran itu juga mendadak lenyap. Segera saja ia tekan rem motornya. Beruntung, ia berhenti tepat waktu. Mujur.
Cerita itu ia tulis dalam buku hariannya. Dirinya yang kini sudah jauh lebih baik menambahkan, menulis merupakan salah satu cara untuk perlahan melepas pikiran dan emosi yang membebani tubuh serta benaknya.
ADVERTISEMENT
Dan dari apa yang ditulis itu, dapat diketahui apakah seseorang tengah depresi atau tidak.
Perasaan depresi dapat mengubah cara pikir, tindak tanduk, hingga pola interaksi dengan lingkungan sosial. Dengan begitu, pertanda depresi dapat dilihat dari cara bicara dan terpancar melalui tulisan--baik dalam rupa surat maupun buku harian. Intinya, dari penggunaan bahasa.
Depresi, perasaan berat dengan penat yang menggelayut di dada. Seakan terjebak dalam ruang kaca, sepi dan sendiri, serta sulit untuk melarikan diri.
Tim Lott menggambarkan depresi sebagai kondisi yang begitu mengerikan. “Lebih gelap dari kesedihan, diri begitu meledak-ledak. Bagaimanapun cara Anda membayangankan atau menggambarkannya, depresi adalah sebuah keadaan yang begitu mengerikan untuk terjebak di dalamnya,” tulisnya di The Guardian (19/4/2016).
ADVERTISEMENT
Perasaan ini lantas berkecamuk dengan emosi negatif lain--mengasihani diri sendiri, perasaan bersalah, pesimis, apatis. Kondisi yang meminta perhatian dan pengertian lebih dari keluarga dan kerabat.
Namun, alih-alih mendapat perhatian, mereka kerap terabaikan dan diasosiasikan sebagai orang yang ‘berantakan’, tidak menyenangkan, bahkan dicap ‘gila’.
Perasaan tersebut dipercaya dapat diterapi dengan menulis. Christina Suchon, salah satu penyintas, memakai terapi menulis buku harian sebagai salah satu cara berjuang melawan depresi. Buku harian menjadi kawan dekat saat ia depresi mulai merasuki dirinya.
“Ketika merasa sangat tidak baik, hal-hal yang tak masuk akal pun aku tumpahkan dalam lembaran buku harian. Mencoret-coret buku harian membantu saya untuk menyegarkan pikiran dan perlahan mencari tahu apa yang mengganggu,” kata Christina dalam tulisan di Webmd .
ADVERTISEMENT
Menulis, menurut para pakar kesehatan mental, dapat memperbaiki suasana hati. Terapi menulis buku harian direkomendasikan sebagai cara untuk menyembuhkan depresi. Ia bisa membuat terapi lainnya melalui obat-obatan atau konseling bekerja lebih baik.
Selain itu, tulisan dalam buku harian dapat membantu mengidentifikasi tingkat depresi dan pola perubahan suasana hati penulisnya. Para ilmuwan telah mencoba mencari korelasi antara depresi dan penggunaan bahasa seseorang.
Teknologi pun dikembangkan untuk membantu analisis lanjutan linguistik--misal, struktur bahasa--yang dipakai oleh penulis dan mengidentifikasi kecenderungan depresi dalam dirinya. Caranya melalui analisis teks berbasis komputer yang memungkinkan proses analisis data yang begitu banyak dilakukan hanya dalam hitungan menit.
Metode analisis teks tersebut dapat mengisi kekosongan analisis manual yang dilakukan oleh peneliti, semisal menghitung jumlah kata, klasifikasi dan pemetaan kata yang digunakan, rata-rata panjang kalimat, hingga pola bahasa yang digunakan.
ADVERTISEMENT
Saat ini, esai personal atau buku harian yang ditulis oleh mereka yang depresi--seperti tulisan atau surat yang ditulis Kurt Cobain dan Sylvia Plath--menjadi data pendukung yang sangat berguna bagi pengembangan machine learning. Sementara, potongan pembicaraan mereka yang mengalami depresi turut menjadi data penting untuk memperkuat analisis bahasa tersebut.
Dengan membandingkan pemakaian bahasa lisan dan tertulis, maka hasil penelitian akan lebih kuat menunjukkan pola dan struktur bahasa yang dipakai oleh mereka yang memiliki gejala depresi.
Penelitian akan penggunaan bahasa ini dipisahkan menjadi dua komponen: konten dan gaya bahasa.
Konten Ucapan dan Gaya Bahasa
Konten dalam percakapan dapat menjadi gambaran perasaan yang tengah dialami pembicara. Maka, konten dalam sebuah pembicaraan menjadi unit analisis penting gejala depresi yang muncul dalam diri seseorang.
ADVERTISEMENT
Kerap kali, orang depresi menggunakan bahasa maupun kata yang sarat dengan emosi negatif. Bahkan secara gamblang menggambarkan kesedihan, seperti kata ‘kesepian’ atau ‘berantakan’. Selain itu, mereka yang mengalami gejala depresi cenderung menggunakan kata ‘aku’ atau ‘diriku’.
Pemilihan kata tersebut menggambarkan mereka yang cenderung fokus pada diri sendiri dan merasa lepas dari orang lain. Dalam hal ini, peneliti melihat pola penggunaan kata ganti orang kesatu, dua, dan tiga menjadi data yang kuat untuk mendeteksi depresi pada diri seseorang.
Tak hanya tentang konten, gaya bahasa yang digunakan seseorang juga dapat mendeteksi kecenderungan depresi yang ada dalam dirinya.
Dalam penelitian yang dikembangkan oleh Mohammed Al-Mosaiwi dari University of Reading Inggris, orang yang memiliki kecenderungan depresi akan cenderung menggunakan bahasa maupun kata-kata yang bersifat absolut, seperti ‘selalu’, ‘tidak ada’, ‘sepenuhnya’ yang selanjutnya diikuti oleh kata-kata bernuansa atau sarat emosi negatif.
Hasil penelitian tersebut ditemukan setelah Mohammed melakukan uji analisis terhadap percakapan 6.400 anggota konseling yang tersebar di 64 forum daring kesehatan mental. Hasil observasi tersebut menunjukkan pola dan struktur bahasa absolut dan bernada negatif.
ADVERTISEMENT
Pola kalimat yang bernada negatif ini dipengaruhi oleh cara pandang mereka terhadap dunia yang cenderung sebatas hitam dan putih--tanpa mampu memandang warna lain. Penggunaan kata yang bersifat absolut mencapai 50 persen dari seluruh percakapan dalam forum konseling depresi dan 80 persen dalam percakapan di forum penanggulangan tindak bunuh diri.
Dibandingkan dengan forum-forum yang berfungsi sebagai tempat pemulihan, para anggota yang perlahan pulih dari depresi cenderung menggunakan kata dan kalimat yang bernada positif hingga 70 persen dari seluruh percakapan. Namun, masih terdapat penggunaan kata-kata absolut dan bernada negatif yang cukup signifikan--walau angkanya lebih rendah dibandingkan forum depresi.
Memahami penggunaan dan pola bahasa depresi sangat membantu proses identifikasi gejala awal dalam diri seseorang yang memiliki potensi depresi. Para peneliti menggabungkan metode analisis teks dengan machine learning--sistem mesin yang mampu menganalisis dari riwayat data sebelumnya--untuk mengelompokkan kondisi kesehatan mental yang diambil dari sampel bahasa sehari-hari, seperti misalnya dalam unggahan tulisan blog.
ADVERTISEMENT
Kehadiran teknologi ini sangat membantu proses identifikasi yang dilakukan oleh para terapis, seperti psikolog dan psikiater. Lebih lanjut, algoritma program dapat dikembangkan untuk menganalisis bahasa secara lebih dalam dan memperkuat hasil analisis yang dilakukan secara manual oleh para terapis.
Diharapkan, perkembangan teknologi yang begitu masif dapat memberi celah jalan keluar yang lebih lebar bagi mereka yang merasa depresi untuk bercerita dan menemukan cara untuk berangsur pulih. Demi melepaskan diri dari jerat depresi yang dirasakannya.
===============
Simak ulasan mendalam lain dengan mengikuti topik Outline.