news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Beda Konsep New Normal Versi WHO dan Pemerintah Indonesia

27 Mei 2020 7:02 WIB
comment
15
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jokowi di Stasiun MRT Bundaran HI. Foto: Dok. Agus Suparto
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi di Stasiun MRT Bundaran HI. Foto: Dok. Agus Suparto
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia kini sedang bersiap menghadapi The New Normal atau fase kehidupan baru setelah pandemi virus corona menghantam dunia. Dalam kehidupan new normal, masyarakat dituntut untuk beradaptasi dengan kebiasaan baru, mereka harus menerapkan protokol pencegahan penularan virus di setiap kegiatan yang melibatkan orang banyak.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya Indonesia, beberapa negara di dunia juga sedang mempertimbangkan penerapan new normal dengan merujuk syarat-syarat yang dikeluarkan World Health Organization (WHO). Adapun Indonesia ternyata memiliki syarat-syarat new normal sendiri. Berikut detail perbedaan new normal versi WHO dan Indonesia.

New normal versi WHO

Dalam new normal versi WHO, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi setiap negara jika ingin menerapkan konsep tersebut. Konsep new normal akan diterapkan selama vaksin COVID-19 belum ditemukan.
“Saat kami mempertimbangkan langkah transisi, kami harus akui bahwa tidak ada kemenangan yang cepat diraih. Kompleksitas dan ketidakpastian ada di depan kita,” ujar Direktur Regional WHO untuk Eropa, Henri P. Kluge, seperti dikutip dari situs resmi WHO.
ADVERTISEMENT
“Yang berarti bahwa kita memasuki periode di mana kita mungkin perlu menyesuaikan langkah dengan cepat, meniadakan pembatasan sosial, dan membuka aktivitas sosial secara bertahap, sembari memantau efektivitas tindakan ini," sambungnya.
Kemacetan lalu lintas di tengah berlakunya pembatasan sosial skala besar di Jakarta, Indonesia, Selasa (19/5). Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana
Sebelum menerapkan konsep new normal, pemerintah di suatu negara harus memenuhi beberapa ketentuan yang telah ditetapkan WHO. Berikut syaratnya:
ADVERTISEMENT
Keenam poin tersebut mesti dipenuhi setiap negara yang ingin menerapkan konsep new normal. Lalu, bagaimana dengan new normal ala Indonesia?

Konsep new normal ala Indonesia

Setidaknya ada tiga poin yang dikeluarkan pemerintah Indonesia sebagai syarat untuk menerapkan new normal. Hal ini disampaikan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Suharso Monoarfa, dengan mengklaim konsep new normal di Indonesia merujuk pada persyaratan yang dikeluarkan WHO.
ADVERTISEMENT
Secara garis besar, konsep penerapan new normal versi Indonesia dan WHO hampir sama, kendati ada beberapa poin yang tidak dimasukkan. Pertanyaannya, apakah Indonesia sudah siap melaksanakan new normal?
Jika dilihat dari angka penularan virus corona di Jakarta yang akan segera menerapkan konsep new normal, sejak pemberlakuan PSBB, grafik kasus corona di Jakarta naik-turun. Namun akhir-akhir ini, di masa PSBB periode ketiga, angka pertambahan kasus cenderung positif stabil dan tidak ada lonjakan.
Grafik evaluasi PSBB di Jakarta terkait penanganan virus corona. Foto: Dok. Istimewa
Dalam sepekan, rataan pertambahan kasus 90 per hari. Data dalam kurun 20-25 Mei, pertambahan harian kasus corona di Jakarta yaitu 70, 96, 127, 118, dan 67. Sementara jumlah tes corona di Jakarta juga menjadi yang tertinggi di Indonesia. Rata-rata, 2.600-2.800 tes PCR dan TCM dalam sehari.
ADVERTISEMENT
Untuk Rt, kini Jakarta masih di atas angka 1. Artinya, masih ada kemungkinan 1 orang menulari 1 orang lainnya. Data ini harus ditekan dan menjadi syarat mutlak penerapan new normal di Jakarta.
Bagaimana dengan tes PCR? Uji spesimen corona di Indonesia terpantau masih belum mencapai target 10.000 tes per hari. Tercatat, hanya dua hari pemerintah Indonesia mampu memenuhi target pengujian, yakni pada Selasa (19/5) mencapai 12.276 tes; dan Sabtu (23/5) 10.617 tes spesimen per hari. Sedangkan, per Senin (25/5), uji spesimen kembali mengalami penurunan, yakni 8.391 spesimen.
Bagaimanapun, pelonggaran PSBB dengan dalih menerapkan konsep new normal untuk membangkitkan perekonomian harus dilakukan dengan hati-hati. Karena menurut Pandu Riono, ahli epidemiologi sekaligus Staf Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, jika masyarakat tidak waspada dan pemerintah tidak berhati-hati dalam mengambil kebijakan, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi pandemi gelombang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
“Jika negara tidak memiliki kesiapsiagaan dan fasilitas kesehatan yang memadai, jika tenaga kesehatan tidak dilatih, tidak diberi alat memadai dan dilindungi, jika warga negara tidak diberi informasi dan diberdayakan dengan informasi berbasis bukti, maka pandemi akan menyapu penduduk di sana, bisnis dan sistem kesehatan akan merenggut nyawa sekaligus mata pencaharian mereka,” ujar Henri.
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
****
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.