Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2

ADVERTISEMENT
Setahun sudah virus corona mewabah di seluruh dunia. Di penghujung tahun 2020, sejumlah vaksin COVID-19 akhirnya lolos uji klinis fase tiga dan beberapa negara mulai mengeluarkan izin penggunaan darurat vaksin untuk segera didistribusikan dan diberikan kepada orang-orang, tak terkecuali Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun, untuk menemukan vaksin corona tidak semudah menyuntikkannya kepada manusia. Butuh proses sangat lama dan kerja keras para peneliti untuk menemukan formula yang tepat sehingga vaksin bisa digunakan secara efektif.
Secara garis besar, ada dua cara untuk membuat vaksin antivirus. Pertama adalah menggunakan patogen virus yang dinonaktifkan atau dilemahkan. Dalam pembuatan inactivited vaccine, peneliti akan menggunakan patogen hidup untuk kemudian dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tidak berimplikasi dalam tubuh dan bisa memicu respons imun saat disuntikan.
Produksi vaksin dengan virus nonaktif dimulai dengan cara menumbuhkan virus dalam medium kultur agar jumlah sumber dayanya tetap terjaga. Kemudian, ahli akan menonaktifkan virus itu dengan panas dan/atau bahan kimia.
Virus yang dinonaktifkan dalam vaksin ini tidak hidup dan tidak dapat mereplikasi dirinya lagi. Vaksin dengan virus nonaktif tidak dapat menyebabkan penyakit, bahkan pada orang yang mengalami gangguan imun.
Meski sudah tidak aktif, vaksin dengan virus nonaktif tetap mengandung virus yang utuh. Virus itu yang nanti akan dipelajari oleh sistem kekebalan tubuh kita guna mengenal dan mengantisipasi infeksi virus aktif yang masuk ke tubuh di masa depan.
ADVERTISEMENT
Sebelum digunakan manusia, vaksin akan dilakukan uji invivo dan invitro terlebih dahulu. Ini biasanya melibatkan hewan seperti tikus dan monyet.
Kedua dengan menggunakan metode baru yakni materi genetik untuk mengajari sistem tubuh cara melawan corona, salah satunya adalah vaksin messenger-RNA COVID-19 seperti Pfizer-BioNTech dan Moderna.
Metode mRNA adalah suatu teknik genetika khusus yang dibuat dengan memberikan potongan protein lonjakan yang terdapat di permukaan luar virus corona SARS-CoV-2. Ketika ia disuntikkan, sistem kekebalan tubuh akan merespons dan menciptakan antibodi terhadap protein spike (semacam duri atau paku di tubuh virus).
mRNA sendiri adalah zat yang membawa instruksi untuk membuat protein baru dari DNA sel ke molekuler yang dikenal sebagai Ribosom. Mereka bertugas menginstruksikan sel-sel di dalam tubuh untuk membuat antibodi yang spesifik terhadap protein spike virus.
ADVERTISEMENT
Jadi ketika orang yang sudah divaksin terinfeksi corona, sistem imun yang telah tercipta akan segera mengenali virus yang masuk dan melawannya sehingga tidak terjadi infeksi pada tubuh.
Kesulitan dalam membuat dan mendistribusikan vaksin
Baik vaksin inactivated maupun mRNA memiliki kelebihan dan kekurangan. Keuntungan yang pertama adalah keduanya dibuat dengan teknologi canggih. Namun, membuat vaksin dengan metode virus yang dilemahkan adalah hal yang tidak mudah, karena menjaga patogen agar tetap hidup merupakan urusan rumit, seperti dikutip The Economist.
Seluruh subbidang bioteknologi harus terlibat dalam penelitian dan pembuatan vaksin. Vaksin yang mempertahankan patogen tetap hidup dengan target produksi ribuan dosis vaksin per hari juga bukan urusan sepele. Ini dialami oleh AstraZeneca, perusahaan Anglo-Swedia yang bekerja sama dengan Oxford University dalam menciptakan vaksin corona.
ADVERTISEMENT
Pascal Soriot, petinggi AstraZenecan, mengatakan bahwa mereka kesulitan menyediakan pasokan vaksin. AstraZeneca mengaku perlu enam bulan hingga sembilan bulan untuk bisa memulai produksi awal vaksin karena harus punya kondisi lingkungan pembuatan vaksin yang memenuhi standar.
Mereka juga harus bekerja sama dengan mitra yang sangat berpengalaman dalam pembuatan vaksin dengan proses produksi yang lebih cepat dari biasanya. Saat ini, AstraZeneca telah bekerja sama dengan 25 organisasi manufaktur di 15 negara untuk membuat vaksinnya.
Begitu juga dengan vaksin mRNA yang punya masalah dalam memproduksi vaksin dalam skala besar, terutama dalam menjaga molekul mRNA baik saat proses produksi maupun didistribusi kepada manusia.
Selain itu, pabrik tempat vaksin dibuat harus dibangun dengan standar tinggi yang dikenal sebagai GMP. Saat ini terdapat kekurangan fasilitas GMP di seluruh dunia. Andrey Zarur dari GreenLight Biosciences, sebuah perusahaan di Boston yang mengembangkan vaksin mRNA, mengatakan bahwa karyawan mereka sekarang lebih banyak bekerja untuk mencari fasilitas GMP.
ADVERTISEMENT
Hambatan lainnya adalah pasokan bahan baku seperti nukleotida yang terbatas. Beberapa vaksin mRNA juga harus disimpan di botol kaca non-reaktif khusus. Terlebih ketika vaksin mesti disimpan di suhu tertentu, salah satunya vaksin mRNA Pfizer yang disimpan di bawah suhu 4 derajat Celsius agar tetap terjaga sampai nanti diberikan ke manusia.
Kalaupun vaksin sudah berhasil lolos uji klinis tiga dan mulai diberikan kepada manusia, tantangan lain yang harus dihadapi adalah apakah vaksin akan efektif terhadap varian baru virus corona yang saat ini mulai muncul di beberapa negara? Bagaimanapun, tantangan dalam pembuatan vaksin akan selalu ada. Apalagi ketika ia harus dibuat dalam waktu sangat singkat.