Begini Cara Kerja Alat GeNose UGM yang Bisa Deteksi Corona dalam 80 Detik

26 September 2020 10:35 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Alat deteksi COVID-19 lewat hembusan napas atau GeNose buatan UGM. Foto: UGM
zoom-in-whitePerbesar
Alat deteksi COVID-19 lewat hembusan napas atau GeNose buatan UGM. Foto: UGM
ADVERTISEMENT
Universitas Gadjah Mada (UGM) berhasil menciptakan alat pendeteksi virus corona SARS-CoV-2 penyebab penyakit COVID-19 berbasis teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Alat ini diklaim bisa mendeteksi COVID-19 melalui hembusan napas orang yang terinfeksi.
ADVERTISEMENT
GeNose, begitu alat ini disebut, diklaim punya kemampuan mendeteksi virus corona di tubuhnya hanya dalam waktu cepat. Dalam waktu kurang dari 2 menit, hasil tes sudah dapat diketahui apakah seseorang positif atau negatif COVID-19.
“Kalau sebelumnya butuh waktu sekitar 3 menit, kemarin saat uji di BIN sudah bisa turun menjadi 80 detik sehingga lebih cepat lagi,” ujar Kuwat Triyono, anggota tim peneliti GeNose di acara “Public Expose GeNose: Teknologi Pengendus COVID-19” di Gedung BJ Habibie lantai 24, seperti dikutip dalam situs resmi UGM, Kamis (24/9).
Alat ini telah mendapat dukungan dari Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN), untuk dikembangkan dan dilakukan penelitian lebih lanjut.
Alat deteksi COVID-19 lewat hembusan napas atau GeNose buatan UGM. Foto: UGM

Bagaimana cara kerjanya?

Dian Kesumapramudya Nurputra, peneliti UGM yang terlibat dalam penelitian memaparkan, GeNose bekerja dengan cara mendeteksi Volatile Organic Compound (VOC) yang terbentuk karena adanya infeksi Covid-19 yang keluar bersama nafas melalui embusan nafas ke dalam kantong khusus. Selanjutnya diidentifikasi melalui sensor-sensor yang kemudian datanya akan diolah dengan bantuan kecerdasan artifisial.
ADVERTISEMENT
Menristek Bambang Brodjonegoro mengatakan, GeNose merupakan inovasi pertama di Indonesia yang mampu mendeteksi COVID-19 melalui embusan napas di mana aplikasinya terhubung dengan sistem komputasi awan (cloud computing) untuk mendapatkan hasil diagnosis secara real time.
GeNose juga mampu bekerja secara paralel melalui proses diagnosis yang tersentral di dalam sistem, sehingga validitas data dapat terjaga untuk semua alat yang terkoneksi. Data yang terkumpul dalam sistem selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk keperluan pemetaan, pelacakan, dan pemantauan penyebaran pandemi secara aktual.
“Menariknya lagi pengembangan GeNose yang memanfaatkan pendekatan Revolusi Industri 4.0 dalam hal ini kecerdasan artifisial. Penguasaan konsep big data dengan kecerdasan artifisial menjadi kunci dari akurasi GeNose,” kata Bambang, sebagaimana dikutip di situs web resmi Kemenristek.
Alat deteksi COVID-19 ciptaan UGM. Foto: Kemenristek/BRIN
Bagaimana dengan akurasinya? GeNose disebutnya telah melalui uji profiling dengan menggunakan 615 sampel data valid di Rumah Sakit Bhayangkara Polda DIY dan Rumah Sakit Lapangan Khusus COVID Bambanglipuro di Yogyakarta. Hasil tesnya menunjukkan, tingkat akurasi alat ini mencapai 97 persen. Selanjutnya, GeNose akan memasuki tahap uji klinis kedua yang akan dilakukan secara bertahap dan tersebar di sejumlah rumah sakit di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Tentunya sebagai kementerian yang bertanggung jawab terhadap perkembangan riset dan inovasi di Indonesia. Kemenristek/BRIN siap mendukung penuh pelaksanaan uji klinis tahap kedua, termasuk dukungan pembiayaan. Sehingga pengembangan GeNose bisa sesuai dengan time table, jadi harapan bulan Desember sudah bisa dimanfaatkan masyarakat luas,” ujar Bambang.
Soal harga, Wakil Rektor UGM, Paripurna Poerwoko Sugarda, menyebut bahwa alat ini lebih murah ketimbang tes swab PCR. Untuk satu 1 unit GeNose diperkirakan membutuhkan biaya sebesar Rp 40 juta, dengan kapasitas 100 ribu tes. Kendati begitu, Paripurna mengaku untuk alat penampung napas pihaknya masih beli. Alat itu sebenarnya terjangkau karena terbuat dari plastik yaitu Rp 500 satuannya.
"Tapi kami sudah diskusi dengan industri dan industri bisa membuat dengan harga Rp 500 per plastik itu. Kami juga masih mencari alternatif kemungkinan bagaimana kalau itu tidak dari plastik tapi dari karet atau kertas, sehingga tidak menambah pencemaran lingkungan," katanya saat memamerkan alat ini di Kemenristek BRIN, Kamis (24/9).
ADVERTISEMENT