Begini Dampak Social Distancing untuk Cegah Penyebaran Virus Corona

16 Maret 2020 20:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang petugas menyemprotkan cairan disinfektan di dalam gerbong kereta api di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Minggu (15/3). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Seorang petugas menyemprotkan cairan disinfektan di dalam gerbong kereta api di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Minggu (15/3). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Virus corona asal Wuhan, China, telah masuk Indonesia. Tercatat, per Minggu (15/3), total jumlah orang yang terpapar SARS-CoV-2 mencapai 117 orang, dengan 8 orang di antaranya dinyatakan sembuh dan 5 orang lainnya meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Di Amerika Serikat, jumlah kasus COVID-19 lebih banyak lagi. Para peneliti khawatir, jika jumlah kasus terus meningkat, sekitar dua kali lipat setiap tiga hari, maka diperkirakan 100 juta orang di Amerika Serikat terpapar virus corona pada Mei 2020. Ini juga berlaku di Indonesia.
Pernyataan tersebut bukan sebatas ramalan belaka, tetapi ini berdasarkan hitungan matematika dalam memprediksi kemungkinan yang terjadi dengan menggunakan sebuah simulasi sederhana.
Kendati begitu, bukan berarti tidak bisa dicegah. Menurut para ahli kesehatan, penyebaran bisa diperlambat jika orang-orang mulai melakukan “social distance”, yakni menghindari ruang publik dengan membatasi ruang gerak, tak melakukan kontak fisik, hingga menjaga jarak dengan manusia lain.
Tanpa adanya langkah-langkah tersebut, maka ledakan wabah di masyarakat akan sangat mungkin terjadi, menyebar secara eksponensial selama berbulan-bulan. Untuk melihat hal tersebut, peneliti lantas melakukan simulasi sederhana, membandingkan dampak ketika social distance diterapkan.
Warga Venezuela di tengah virus corona Foto: AFP/Christian Hernandez
ADVERTISEMENT

Tidak diterapkan protokol pencegahan

Ilmuwan lantas membuat sebuah simulasi sederhana tentang penyakit menular, di mana penyakit yang disimulasikan memiliki tingkat penularan lebih tinggi ketimbang COVID-19, dengan penekanan:
“Kapanpun orang sehat bersentuhan dengan orang sakit, maka orang sehat menjadi sakit. Orang yang sakit kemudian akan pulih dan memiliki sistem kekebalan tubuh baru. Tapi, dia tidak bisa menularkan sistem imun itu ke orang lain, terutama kepada orang sehat. Sebaliknya, orang sembuh berpotensi sakit lagi ketika bersentuhan dengan orang sakit”.
Dalam penelitiannya, tim ilmuwan memasukkan satu orang yang terinfeksi virus ke dalam sebuah populasi penduduk berjumlah 200 orang. Semua orang di dalamnya bergerak bebas, tidak ada protokol pencegahan apapun. Hasilnya, virus menyebar dengan sangat masif, ditularkan dari orang ke orang, terutama ketika orang terinfeksi bersentuhan dengan orang sehat.
ADVERTISEMENT
Imbasnya adalah, pasien yang harus ditangani membeludak. Rumah sakit penuh dan kewalahan mengatasi jumlah pasien yang tumbang secara bersamaan. Akibatnya, banyak orang sakit yang terlantar.

Lockdown atau Karantina Paksa

Peneliti kemudian membuat sebuah percobaan baru dengan tujuan memperlambat laju penyebaran. Dalam populasi tersebut, mereka memberlakukan lockdown atau karantina paksa, seperti yang dilakukan oleh pemerintah China di Provinsi Hubei, Wuhan, tempat pandemi dimulai.
Hasilnya, kendati tidak sepenuhnya dapat memutus mata rantai penyebaran, lockdown terbukti dapat membantu memperlambat laju penularan, sehingga memberikan lebih banyak waktu bagi pasien untuk sembuh.
Meski begitu, Leana Wen, mantan komisioner kesehatan untuk kota Baltimore menyebut, upaya karantina paksa masih kurang efektif untuk mencegah penyebaran virus.
ADVERTISEMENT
“Banyak orang bekerja di kota dan tinggal di negara tetangga, atau sebaliknya. Apakah orang akan dipisahkan dari keluarga mereka? Bagaimana setiap jalan akan diblokir? Bagaimana persediaan bahan baku makanan untuk penduduk?” ujarnya kepada The Washington Post.
Suasana kawasan Ancol yang ditutup antisipasi virus corona atau COVID-19 di Jakarta, Sabtu (14/3). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan

Social Distance

Menurut peneliti, ada cara yang lebih jitu untuk menekan angka penyebaran virus, yakni dengan mendorong orang-orang untuk tinggal di dalam rumah, menjaga jarak dengan orang lain, dan menghindari pertemuan publik. Ketika orang-orang mengurangi interaksi di fasilitas umum, seperti kantor, mall, dan ruang publik lainnya, maka peluang virus untuk menyebar akan semakin sedikit.
Terbukti, ketika social distance diberlakukan dalam populasi berpenduduk 200 orang, penyebaran virus di lingkup tersebut jauh lebih lambat ketimbang karantina paksa. Kendati beberapa orang mungkin masih tertular karena urusan pekerjaan atau kewajiban lain yang membuat mereka keluar rumah.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, Work From Home atau kerja dari rumah akan sangat membantu memutus laju penyebaran virus. Langkah tersebut membuat orang yang terdampak lebih sedikit, dan meminimalisir lonjakan pasien yang tidak terkendali.

Extreme social distance

Semakin ekstrem social distance diterapkan, semakin banyak orang yang sehat. Ketika diberlakukan jam malam, larangan keluar rumah, dan lain sebagainya, maka yang terjadi adalah laju penularan akan sangat lambat, membuat orang-orang yang terinfeksi semakin sedikit.
“Kami mengendalikan keinginan orang-orang untuk berada di ruang publik, dengan menutup ruang publik. Italia menutup semua restorannya. China menutup semuanya, dan kami juga menutup semuanya sekarang. Mengurangi kesempatan orang untuk berkumpul, dan memberlakukan social distance,” ujar Drew Harris, peneliti kesehatan populasi dan asisten profesor di Fakultas Kesehatan Masyarakat The Thomas Jefferson University.
ADVERTISEMENT
Peneliti kemudian mensimulasikannya ke dalam kota berpenduduk 200 orang. Hasilnya seperti dugaan, penyebaran virus semakin melambat, bahkan bisa memutus mata rantai penularan dari orang ke orang.
Peneliti mengatakan bahwa simulasi ini masih ada kekurangan, terutama tidak ada jumlah orang yang berpotensi meninggal dunia. Meski begitu, dalam bencana COVID-19, tingkat kematian dapat diukur dengan berapa umur pasien dan apakah pasien punya penyakit penyerta atau tidak. Sebab, anggota lansia telah menjadi komunitas yang paling berisiko meninggal akibat COVID-19.