news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Begini Hasil Riset Pasien Virus Corona yang Dirawat dengan Obat Malaria

22 April 2020 19:06 WIB
comment
14
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi klorokuin. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi klorokuin. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Obat virus corona belum ditemukan hingga saat ini. Sejumlah negara menggunakan beberapa alternatif dalam menyembuhkan pasien virus corona, salah satunya obat malaria hidroksiklorokuin (hydroxychloroquine).
ADVERTISEMENT
Karena tidak sedikit pihak yang meragukan keampuhan hidroksiklorokuin dalam mengobati pasien COVID-19, sekelompok peneliti di AS menganalisis retrospektif data ratusan pasien virus corona yang diberi obat malaria itu.
Hasil penelitiannya menunjukkan, penggunaan hidroksiklorokuin untuk mengobati pasien virus corona tidak memiliki manfaat. Para peneliti yang terlibat dalam studi itu justru menemukan, ada lebih banyak kematian di antara pasien COVID-19 yang diberi hidroksiklorokuin ketimbang yang dirawat secara standar.
Tim ilmuwan yang terdiri dari peneliti di University of South Carolina, Dorn Research Institute, serta University of Virginia menjelaskan, mereka menganalisis data 368 pasien laki-laki virus corona SARS-CoV-2. Para pasien ini dirawat di seluruh pusat kesehatan Administrasi Kesehatan Veteran AS per 11 April 2020.
Ilustrasi obat. Foto: Unsplash
Dari 368 pasien tersebut, peneliti membagi mereka jadi tiga kelompok. Kelompok pertama berisi 97 orang yang hanya diberikan obat hidroksiklorokuin selama dirawat. Grup kedua berjumlah 113 orang yang dirawat dengan hidroksiklorokuin dan azitromisin (azithromycin). Adapun kelompok terakhir berisi 158 pasien yang tidak diberikan hidroksiklorokuin.
ADVERTISEMENT
Peneliti menemukan, bahwa pasien yang diberikan obat malaria hidroksiklorokuin justru punya tingkat kematian yang lebih tinggi. Dalam catatan mereka, tingkat kematian pasien yang hanya diberikan hidroksiklorokuin mencapai 27,8 persen, dan 22,1 persen di kelompok hidroksiklorokuin dan azitromisin. Adapun pasien yang tidak diberikan hidroksiklorokuin 'hanya' punya tingkat kematian 11,4 persen.
Selain itu, periset juga mencatat tingkat kebutuhan ventilasi di kelompok hidroksiklorokuin mencapai 13,3 persen. Di kelompok hidroksiklorokuin dan azitromisin hanya 6,9 persen, sedangkan kelompok terakhir mencapai 14,1 persen.
"Dalam penelitian ini, kami tidak menemukan bukti bahwa penggunaan hidroksiklorokuin, baik dengan atau tanpa azitromisin, mengurangi risiko ventilasi mekanik pada pasien yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19," kata tim peneliti dalam laporannya.
ADVERTISEMENT
"Hubungan peningkatan kematian juga diidentifikasi pada pasien yang hanya diobati dengan hidroksiklorokuin. Temuan ini menyoroti pentingnya menunggu hasil studi prospektif, acak, terkontrol yang berkelanjutan sebelum adopsi luas dari obat ini."
Meski demikian, peneliti menyebut bahwa laporan mereka bisa jadi punya kekurangan. Sebagai contoh, objek penelitian mereka hanya terdiri dari pasien laki-laki dengan rata-rata umur 65 tahun. Hal ini membuat dampak hidroksiklorokuin bagi pasien perempuan dan anak-anak tidak diketahui.
Puluhan Jenazah Pasien Corona Menumpuk di RS Wyckoff, AS. Foto: REUTERS/Andrew Kelly
Ilmuwan juga menyebut bahwa kebanyakan objek penelitian mereka adalah pasien kulit hitam, yang dilaporkan punya tingkat infeksi yang lebih tinggi ketimbang pasien kulit putih.
Hasil penelitian ini telah diterbitkan di jurnal medis medRxiv pada Selasa (21/4). Namun, riset ini belum melalui tahap peer-review oleh peneliti lain.
ADVERTISEMENT

Masalah klorokuin sebagai obat COVID-19

Hidroksiklorokuin sendiri adalah varian dari klorokuin. Keduanya memiliki struktur yang sama tetapi memiliki sifat kimia dan biologis yang berbeda. Menurut penelitian, hidroksiklorokuin lebih toksik daripada klorokuin.
Keduanya saat ini tengah jadi obat darurat pasien COVID-19 di AS, yang telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA). Di Indonesia, Presiden Jokowi mengumumkan penggunaan klorokuin sebagai obat pasien COVID-19 sejak Maret 2020, dengan klaim bahwa obat tersebut "memberikan kesembuhan."
Presiden Joko Widodo menyampaikan keterangan pers melalui telekonferensi. Foto: BPMI Setpres/Lukas
Namun, keamanan dan efektivitas keduanya tengah jadi sorotan seiring dengan munculnya laporan studi yang membuktikan bahaya obat tersebut bagi pasien COVID-19.
Pada awal April 2020, misalnya, sebuah uji coba klorokuin di Brasil dihentikan lebih awal dari jadwal yang seharusnya karena alasan keamanan. Sebab, pasien virus corona yang dijadikan objek uji coba mengalami gangguan irama detak jantung yang bisa berpotensi fatal setelah diberi klorokuin dalam dosis tinggi.
ADVERTISEMENT
Laporan dari Brasil tersebut menemukan, pasien yang diberikan 600 mg klorokuin dalam 10 hari mengalami irama detak jantung abnormal. Pada hari ke-6 riset, 11 pasien meninggal, situasi yang membuat peneliti langsung menyudahi riset mereka.
Petugas medis membawa pasien virus corona dari ambulans menuju rumah sakit S Thomas di London, Inggris. Foto: REUTERS/Hannah McKay
"Temuan awal menunjukkan bahwa dosis klorokuin yang lebih tinggi (selama 10 hari) tidak dianjurkan untuk pengobatan COVID-19 karena potensi bahaya keamanannya," jelas tim peneliti dalam laporan mereka.
Brasil sendiri juga menjadi salah satu negara yang menggunakan obat malaria tersebut, selain Indonesia dan AS.
Adapun dampak penggunaan klorokuin bagi pasien COVID-19 di Indonesia tidak diketahui. Hingga saat ini, tak ada laporan mengenai hasil penggunaan klorokuin bagi pasien virus corona COVID-19 di Indonesia.
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
ADVERTISEMENT
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.