BPOM Dampingi Uji Klinis Minyak Esensial Sebagai Imunomodulator Pasien COVID-19

23 April 2021 13:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sebuah kalimat penyemangat tertulis di pakaian alat pelindung diri (APD) salah satu tenaga kesehatan di Rumah Sakit Darurat (RSD) COVID-19. Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Sebuah kalimat penyemangat tertulis di pakaian alat pelindung diri (APD) salah satu tenaga kesehatan di Rumah Sakit Darurat (RSD) COVID-19. Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
Upaya penelitian dan pengembangan untuk mempercepat pengadaan obat alternatif terkait COVID-19 di Indonesia terus didorong. Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM, terlibat aktif dalam riset tersebut, dan saat ini mendampingi uji klinis sejumlah produk imunomodulator atau senyawa peningkat daya tahan tubuh untuk pasien COVID-19.
Salah satu produk imunomodulator yang masih dalam pendampingan BPOM untuk uji klinis terkait COVID-19, adalah Rhea Health Tone (RHT), sebagai imunomodulator minyak esensial pertama di Indonesia.
Fungsi utama imunomodulator adalah memperbaiki sistem imun dengan cara stimulasi (imunostimulan) atau menormalkan reaksi imun yang abnormal (imunosupresan). Tidak seperti immune booster yang tidak dapat dipakai dalam jangka panjang setiap harinya, imunomodulator aman untuk dikonsumsi setiap hari dalam jangka panjang.
RHT tengah melakukan uji klinis untuk penanganan pada pasien COVID-19 dan pencegahan COVID-19 pada tenaga kesehatan di tiga rumah sakit, yakni Rumah Sakit Hasan Sadikin, RSD Wisma Atlet, dan RSUP Persahabatan.
Manajemen Rhea Pharmaceutical selaku pengembang RHT, mengatakan bahwa pihaknya hanya menjadi sponsor dari studi ini, dan tidak ikut campur dalam metodologi, kriteria inklusi untuk pasien, dan lain-lain. Untuk desain studi uji klinis RHT untuk penanganan COVID-19, itu murni dari tim riset rumah sakit.
Rhea Health Tone. Foto: Rhea Pharmaceutical Sciences

Perkembangan Uji Klinis di RS Hasan Sadikin, Bandung

Menyoal perkembangan uji klinis RHT untuk penanganan COVID-19, Prof Keri Lestari, Guru Besar Bidang Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Padjadjaran (Unpad), mengatakan bahwa persiapan uji klinis telah dilakukan pada April 2020, termasuk mempersiapkan protokol uji klinis, izin etik dari Komite etik, kemudian pengecekan, review juga izin dari BPOM.
Setelah izin etik keluar, barulah BPOM mengeluarkan izin uji klinis. Saat ini, uji klinis RHT di RS Hasan Sadikin masih terus berjalan. Sementara di RSD Wisma Atlet sudah rampung pada Februari-Maret 2021 lalu.
Ada sekitar 120 relawan yang dilibatkan dalam uji klinis di RS Hasan Sadikin, dengan metode randomize control trial. Artinya, RHT diberikan kepada pasien COVID-19 secara acak. Dalam penelitian itu, pasien dibagi menjadi dua grup; Kelompok pertama diberikan RHT, dan grup satu lagi tidak. Setiap grup dipantau dan dilihat perkembangannya.
Adapun kriteria pasien yang mendapatkan RHT adalah pasien COVID-19 bergejala ringan hingga sedang. Sekarang RHT sudah menyelesaikan uji interim, yakni pertengahan fase uji klinis di mana pasien yang masuk sudah setengah dari jumlah pasien yang ditargetkan.
Keri menyebut, hasil interim menunjukkan adanya satu performa yang menarik dari RHT, salah satunya dapat memperpendek waktu perawatan di rumah sakit. Dengan kata lain, grup yang menggunakan RHT waktu perawatannya lebih cepat daripada mereka yang tidak menggunakan Rhea. Tapi, Keri menekankan bahwa ini baru uji interim dan harus menunggu hasil akhir uji klinis.
Selain itu, grup yang menggunakan RHT, conversion rate-nya dari positif ke negatif, menunjukkan jumlah pasien yang lebih banyak dalam kurun waktu yang sama.
“Jadi, kita melihat pada hari ke-7 dan ke-10, ternyata grup yang menggunakan RHT mempunyai jumlah pasien yang menjadi negatif (COVID-19) lebih banyak daripada grup yang tidak menggunakan RHT,” katanya.
Guru Besar Bidang Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Padjadjaran, Keri Lestari. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
Adapun tim peneliti yang dilibatkan dalam uji klinis sudah tersertifikasi good clinical practice (GCP) dan mengetahui bagaimana melaksanakan uji klinis sesuai kaidah ilmiah yang berlaku. Ini dilakukan agar uji klinis bisa dijadikan satu kesimpulan karena metodologi yang digunakan dikawal dengan baik oleh periset yang memiliki kualifikasi khusus untuk uji klinis.
“Jadi, enggak semua peneliti juga bisa melakukan uji klinis. Dia harus certified (GCP). Ini untuk menjamin proses berjalan dengan baik, dengan benar, juga hasilnya bisa mencerminkan manfaat dan keamanan dari obat yang sudah dilakukan uji klinis tersebut,” ujar Keri.
Uji klinis RHT RS Hasan Sadikin diperkirakan akan selesai 1 hingga 2 bulan mendatang, atau sekitar Mei 2021.
“Uji klinis ini adalah sifatnya untuk mengkonfirmasi efek dari yang kita klaim. Jadi, berdasarkan uji klinis ini, baik itu efficacy-nya atau efeknya, atau kemanfaatan maupun efek sampingnya, serta hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan obat ini, sudah melalui telaah mendalam kepada relawan manusia,” kata Prof. Keri.
“Sehingga ini menunjukkan sebuah evidence-based yang kuat jika digunakan sebagai obat untuk mengatasi pandemi COVID-19 saat ini.”

Perkembangan Uji Klinis di RS Persahabatan, Jakarta

Sementara uji klinis RHT di RSUP Persahabatan, baru dimulai pada awal April 2021 karena membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan izin dari BPOM sehingga uji klinis sedikit terlambat.
“Kenapa terlambat? Karena banyak target sasaran yang mendapatkan RHT, ternyata sudah divaksin, padahal kita menargetkan RHT ini untuk preventif, untuk mencegah tenaga kesehatan terinfeksi oleh COVID-19 atau menjadi sakit,” kata Dr. Erlina Burhan, Dokter Spesialis Paru di RSUP Persahabatan, Rabu (14/4).
Kendati demikian, uji klinis RHT masih bisa dilakukan dengan target sasaran adalah para petugas kesehatan yang tidak bisa divaksin di batch pertama karena masalah komorbid, seperti hipertensi, gula darah tidak terkontrol, dan penyakit lain.
dr Erlina Burhan. Foto: Dok. Pribadi
Saat ini, sudah ada 25 relawan untuk subjek penelitian dan dalam waktu dekat bakal ditambah 10 relawan lainnya. Semua relawan yang mengikuti uji klinis harus di-screening terlebih dahulu untuk memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
“Jadi kalau misalkan kita dapat lagi 10 relawan, berarti dalam dua bulan ini kita sudah dapat 35 orang. Kita butuh sekitar 90 subjek. Jadi kita akan berusaha terus mencarinya,” kata Erlina.
Erlina mengatakan, sejauh ini mereka yang diberikan RHT tidak mengalami efek samping dan kondisi para relawan ada dalam keadaan baik. Nantinya, setelah target subjek penelitian telah terpenuhi, tim akan mulai melakukan analisis ihwal seberapa besar pengaruh RHT dalam memberikan proteksi perlindungan pada individu agar tidak terserang COVID-19.
RHTsudah bisa dikonsumsi masyarakat karena terjamin keamanannya dan sudah mendapatkan izin BPOM dengan nama produk Health Tone pada 2 April 2020 dengan nomor registrasi TI204633151.
“RHT dapat memberikan proteksi dan manfaat untuk masyarakat luas dalam menjaga sistem imunnya. Untuk para tenaga kesehatan dapat mengandalkan RHT untuk mencegah dan lebih aman dalam menjalankan tugas. Dan untuk pasien agar gejala tidak bertambah berat dan mempercepat tingkat recovery,” kata Dr. Haig Babikian, Managing Director Rhea Pharmaceutical, saat dihubungi kumparan.
Adapun cara penggunaannya, untuk orang yang sakit atau dalam kondisi tubuh kurang fit, RHT baik diminum sehari dua kali 1 ml secara reguler, setiap 12 jam sekali. Sementara untuk orang sehat yang bermaksud menjaga imun tubuh, RHT diminum sehari sekali 1 ml (1 pipet) secara reguler, setiap 24 jam.
RHT sudah dijual di berbagai e-commerce mulai dari Tokopedia, Shopee, Blibli, Bukalapak, dan Watsons, dengan program diskon yang menarik.