Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
Ema merinci ketujuh penyakit tersebut, termasuk gangguan sistem reproduksi baik pria maupun wanita, diabetes, obesitas, gangguan sistem kardiovaskuler, gangguan ginjal, kanker, gangguan perkembangan kesehatan mental, hingga Autism Spectrum Disorder (ASD) pada anak.
"Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada risiko kesehatan yang ditimbulkan akibat paparan BPA melalui mekanisme endocrine disruptor, khususnya hormon estrogen," kata Ema.
Sambung Ema, pemerintah telah mengantisipasi dampak kesehatan tersebut dengan mengeluarkan kebijakan pelabelan BPA.
"Berdasarkan risiko kesehatan, jumlah konsumsi, dan data produk beredar, BPOM memandang perlu untuk segera melakukan pengaturan label Air Minum Dalam Kemasan," jelasnya.
Pada 5 April 2024 lalu, BPOM mengesahkan penambahan dua pasal baru pada peraturan tentang Label Pangan Olahan, yakni kewajiban pencantuman label cara penyimpanan air minum kemasan yang tercantum di Pasal 48A. Selanjutnya, kewajiban pencantuman label peringatan risiko BPA pada semua galon air minum bermerek yang menggunakan kemasan polikarbonat yang dijabarkan di Pasal 61A.
Ema menegaskan, nantinya saat masa tenggang penerapan aturan tersebut yang berakhir pada 2028, produsen yang menggunakan kemasan polikarbonat wajib menerapkan label peringatan "Dalam kondisi tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA pada air minum dalam kemasan".
Menilik Efek BPA pada Galon Guna Ulang
Saat ini, mayoritas kemasan galon yang beredar di masyarakat berbahan polikarbonat, jenis plastik keras yang pembuatannya menggunakan BPA sebagai bahan baku. Galon dengan kemasan plastik polikarbonat tersebut juga umumnya didistribusikan dengan metode guna ulang, yakni metode dibersihkan di pabrik sebelum diisi dan dipasarkan kembali.
Kontaminasi BPA berpotensi terjadi bila proses pencucian dan distribusi galon yang tidak tepat. Contohnya, saat produsen menyemprot galon bekas dengan suhu terlalu tinggi, menggunakan deterjen atau menggosok bagian dalam galon hingga tergores, serta membiarkan galon terpapar sinar matahari langsung dalam waktu yang lama saat pengantaran ke konsumen.
"Penggunaan berulang dari kemasan galon tersebut dapat berpotensi terjadinya migrasi/pelepasan BPA," kata Ema.
Hal senada diungkap oleh peneliti polimer dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr. Akbar Hanif Dawam Abdullah. Menurut Akbar, meskipun kemasan terbuat dari polimer polikarbonat yang kuat dan tahan panas, tetap ada potensi migrasi BPA dari kemasan ke air minum.
"Selama bahan kemasan dibuat dari polimer polikarbonat, potensi migrasi BPA dipastikan tetap ada. BPA bisa masuk ke dalam tubuh dan mengganggu fungsi kerja hormon," katanya.
Pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, pun menyatakan BPA sejak lama telah diklasifikasikan sebagai bahan kimia pengganggu endokrin, sistem kekebalan dalam tubuh. Menurutnya, BPA bisa memunculkan efek kesehatan pada semua lapisan kalangan umur, termasuk atas janin pada periode prenatal.
"Industri yang menggunakan wadah produk makanan dan minuman dari plastik yang mengandung BPA diminta untuk beralih ke wadah yang lebih aman dan bebas BPA," pungkasnya.
Oleh karena itu, menurut Ema, monitoring mandiri secara berkala terhadap persyaratan keamanan dan kemasan pangan, serta menerapkan cara produksi pangan olahan yang baik (CPPOB), perlu dilakukan secara konsisten.
Hal ini sebagai tindakan dari hasil riset komprehensif BPOM kurun 2021-2022, yang mendapati peluruhan BPA menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan. Lima provinsi tercatat memiliki angka migrasi BPA melampaui ambang batas aman.