Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Ada seorang bankir berusia 50-an tahun yang telah bekerja tujuh hari seminggu selama 25 tahun. Kini, pria itu telah menjadi orang yang sangat kaya.
ADVERTISEMENT
Namun, di puncak kariernya ini, pria itu justru akhirnya menyadari bahwa selama ini dia telah mengabaikan keluarganya. Hal itu dia sadari karena kini ketika anak-anaknya telah besar, mereka justru menolak dan menjauhi dirinya.
Muncullah penyesalan yang luar biasa di dalam diri pria itu. Setiap hari Minggu dia mengalami serangan panik.
Pria itu adalah pasien dari David Morgan, psikoanalis dari Institute of Psychoanalysis. Morgan, sebagaimana diberitakan oleh The Guardian, telah menghabiskan beberapa tahun untuk membantu pria yang namanya dirahasiakan itu untuk mengeksplorasi apa yang mendorongnya bekerja begitu keras hingga mengabaikan anak-anaknya.
Ternyata di masa kecilnya, pria itu pernah menyaksikan orang tuanya hampir mati kelaparan selama masa pemogokan kerja di Inggris tahun 1980-an. Dia tak mau anak-anaknya sampai mengalami hal yang sama dengan dirinya di waktu kecil, yakni hidup miskin dan melihat orang tua nyaris mati kelaparan.
ADVERTISEMENT
Namun, tanpa sadar, pria itu justru “mengulangi” kejadian tersebut dengan “memiskinkan” anak-anaknya dari kasih sayangnya dengan tidak berada di rumah untuk mereka. Pada akhirnya, sikapnya yang terlalu mementingkan pekerjaan dan karier justru memiskinkan dirinya sendiri dari hubungan yang penuh kasih dengan anak-anaknya, meskipun hal itu dia lakukan untuk mengatasi kemiskinan traumatis di masa kecilnya.
Morgan menjelaskan, “pemahaman yang rumit itu” bisa membebaskan pria itu dari penyesalan yang terlalu dalam. Dengan memahami motivasi dan alasannya bekerja sangat keras, pria itu bisa “mengatur penyesalannya dalam konteks perbedaan generasi sehingga ia tidak perlu merasa sangat bersalah telah melakukan hal itu karena itu di luar kemampuannya.”
Hal ini berarti penyesalannya dapat dipahami dan diberi makna sehingga bisa mengubah hidupnya dengan tak larut dalam penyesalan.
ADVERTISEMENT
Menurut Morgan, banyak pasiennya yang merasa terganggu oleh penyesalan sehingga tidak dapat hidup normal sepenuhnya. Penyesalan itu bisa terkait dengan banyak urusan, mulai dari pilihan karier, hubungan keluarga, hingga percintaan.
Bahaya dari penyesalan yang terus-menerus
Jatuh dalam penyesalan yang dalam dan terus-menerus bisa merusak kesehatan mental kita. Hal ini bisa sangat melelahkan, membuat kita buta akan hal-hal baik yang sebenarnya masih kita miliki dan kita dapatkan, serta membuat kita terjebak, selalu melihat ke belakang, dan tidak dapat bergerak maju di dalam hidup.
Ahli terapi perilaku kognitif Windy Dryden mengatakan bahwa, ketika kita terjebak dalam siklus penyesalan yang ditandai dengan kekakuan dan ketidakfleksibelan, kita hanya akan menyalahkan diri sendiri atas apa yang telah terjadi daripada melihat perilaku kita dalam konteks yang lebih luas dan memahami mengapa kita mengambil jalan yang kita lakukan berdasarkan informasi yang kita miliki saat itu. Dalam kondisi seperti ini, penyesalan akan menjadi racun bagi diri kita sendiri.
ADVERTISEMENT
Lebih parah lagi, menurut Dryden, “jika Anda menghindari melakukan sesuatu yang mungkin kita sesali nanti, Anda akan melepaskan diri dari hubungan, peluang, dan akhirnya hidup itu sendiri --dan ironisnya adalah, tidak ada sumber penyesalan yang lebih kuat daripada itu.”
Catriona Wrottesley, psikoterapis psikoanalitik pasangan di Tavistock Relationships London, punya contoh kasus dari hal yang telah dijelaskan Dryden. Dia mengatakan bahwa penyesalan telah digunakan oleh beberapa orang sebagai "pertahanan melawan cinta".
Wrottesley menceritakan kisah seorang pasien wanitanya yang baru saja bercerai. Si wanita merasa menyesal karena telah menikah di usia yang terlalu muda dan bertahan dalam pernikahan tidak bahagianya terlalu lama. Dia kemudian bertekad untuk tidak membuat kesalahan saat berikutnya.
ADVERTISEMENT
Setelah siap untuk memulai awal yang baru, dia kemudian mendaftar di berbagai situs kencan, dan mulai menjalani kencan-kencan pertamanya dengan beberapa pria. Meskipun ada pria yang menginginkan kencan kedua, Wrottesley menjelaskan, selalu ada sesuatu dari pria-pria itu yang membuat si wanita itu merasa tidak yakin.
Wanita itu sangat fokus untuk bisa menemukan pasangan tepat. “Tapi, tanpa sadar, dia melakukan semua yang dia bisa untuk melindungi dirinya dari menjalin hubungan dengan pria manapun, karena dia takut mengulangi kekecewaan dan luka yang telah dia alami,” kata Wrottesley kepada The Guardian.
Rasa penyesalan inilah yang membuat wanita itu membuang peluang hubungan dengan pria manapun. Namun, begitu si wanita mulai membuka dirinya untuk kemungkinan melakukan kesalahan, dia akhirnya bisa kencan lebih dari satu kali dengan pria yang sama. Meskipun dia tidak yakin pria itu sepenuhnya tepat untuknya, ini adalah satu-satunya cara agar dia bisa mengenal pria mana yang dia sukai dan yang tidak dia sukai.
Menurut Wrottesley, kita harus membuka diri terhadap kemungkinan melakukan kesalahan dan menyesali kesalahan itu untuk belajar dari pengalaman tersebut.
ADVERTISEMENT
"Itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan," kata Wrottesley, "tetapi dengan latihan, itu menjadi lebih mudah, karena semakin kita dapat membiarkan diri kita melakukan kesalahan, jika kita dapat belajar dari kesalahan-kesalahan itu, maka semakin sedikit kesalahan yang akan kita buat."