Delirium Bisa Jadi Gejala Awal COVID-19, Apa Itu?

12 Desember 2020 13:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekerja medis merawat seorang pasien yang menderita penyakit COVID-19 di New Delhi, India, (28/5). Foto: Danish Siddiqui/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja medis merawat seorang pasien yang menderita penyakit COVID-19 di New Delhi, India, (28/5). Foto: Danish Siddiqui/REUTERS
ADVERTISEMENT
Sebuah riset baru menyimpulkan bahwa delirium yang disertai dengan demam bisa menjadi gejala awal COVID-19, penyakit yang disebabkan oleh virus corona dan saat ini mewabah di dunia.
ADVERTISEMENT
Studi tersebut dilakukan oleh tim peneliti dari Universitat Oberta de Catalunya (UOC). Penelitiannya sudah diterbitkan dan bisa diakses di Journal of Clinical Immunology and Immunotherapy.

Apa itu delirium?

Menurut laporan Medical News Today, delirium adalah gangguan mental yang mengakibatkan kebingungan, berkurangnya kemampuan untuk konsentrasi, berpikir, dan mengingat. Kondisi ini juga bisa menyebabkan berkurangnya tingkat kesadaran penderita.
Ada tiga jenis delirium yang masing-masing gejalanya berbeda. Pertama, delirium hipoaktif dengan simtom tubuh terasa lelah, depresi, atau bergerak lambat dari biasanya.
Kedua delirium hiperaktif dengan gejalanya gelisah, tidak tenang, dan agresif. Terakhir, delirium campuran yang simtomnya bergantian antara hipoaktif dan hiperaktif.
Ilustrasi Depresi. Foto: Shutter Stock
Semua tipe delirium tadi juga mengalami gejala yang sama seperti kebingungan atau disorientasi, hilang ingatan, sulit konsentrasi, halusinasi, perubahan pola tidur, serta perubahan mood atau kepribadian.
ADVERTISEMENT
Para ahli kesehatan belum mengetahui secara pasti penyebab delirium, namun, radang otak, tidak seimbangnya neurotransmitter, dan stres kronis diduga berperan dalam menyebabkan gejala delirium. Beberapa dugaan penyebab lainnya adalah infeksi seperti pneumonia, tidak seimbangnya kadar asetilkolin atau dopamin, tumor otak, trauma di kepala, gagal ginjal atau hati, penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan, paparan zat beracun, hingga kurang tidur.

Riset delirium salah satu gejala awal COVID-19

Kembali soal riset UOC. Penelitiannya menyoroti temuan beberapa pasien COVID-19 mengalami delirium, bersamaan dengan hilangnya indra perasa dan pencium, serta sakit kepala yang terjadi beberapa hari sebelum gejala batuk dan kesulitan bernapas melanda.
Seseorang yang mengalami delirium disertai dengan demam tinggi diduga peneliti sebagai tanda awal terinfeksi virus corona. Kasus ini disebutnya banyak dialami oleh pasien lanjut usia.
ADVERTISEMENT
"Delirium adalah keadaan kebingungan di mana orang tersebut merasa tidak berhubungan dengan kenyataan, seolah-olah mereka sedang bermimpi," jelas Javier Correa, peneliti UOC yang melakukan studinya di University of Bordeaux, Prancis, di situs web resmi kampusnya.
"Kita perlu waspada, terutama dalam situasi epidemiologi seperti ini, karena seseorang yang menunjukkan tanda-tanda kebingungan mungkin merupakan indikasi infeksi."
Pasien COVID-19 beristirahat di ranjang rumah sakit lapangan yang dibangun di sebuah stadion sepak bola di Machakos, Kenya. Foto: Baz Ratner/REUTERS
Correa, bersama dengan ilmuwan UCO Cognitive NeuroLab, Diego Redolar Ripoll, telah meninjau karya ilmiah soal efek COVID-19 yang berkaitan dengan sistem saraf pusat, yakni otak. Dari tinjauan tersebut ditemukan, meski saat ini banyak penelitian corona yang dilakukan berfokus pada kerusakan yang ditimbulkan paru-paru dan organ lain macam ginjal dan jantung, ada indikasi yang berkembang bahwa virus corona juga memengaruhi sistem saraf pusat dan menghasilkan perubahan neurokognitif, seperti sakit kepala dan delirium.
ADVERTISEMENT
"Hipotesis utama yang menjelaskan bagaimana virus corona SARS-CoV-2 memengaruhi otak menunjuk pada tiga kemungkinan penyebab: hipoksia atau defisiensi oksigen saraf, radang jaringan otak akibat badai sitokin, dan fakta virus memiliki kemampuan untuk melintasi darah," jelas Correa.
Ia menekankan bahwa salah satu dari tiga faktor tersebut berpotensi menyebabkan delirium. Correa juga menjelaskan bahwa bukti kerusakan otak terkait hipoksia telah diamati dalam autopsi yang dilakukan pada pasien meninggal karena infeksi dan kemungkinan untuk mengisolasi virus dari jaringan otak.
Menurut para peneliti, delirium, defisit kognitif, dan anomali perilaku kemungkinan besar merupakan hasil dari peradangan sistemik organ dan keadaan hipoksia. Kondisi tersebut juga menyebabkan jaringan saraf menjadi meradang dan menyebabkan kerusakan di area seperti hipokampus (bagian otak tempat memproses informasi dari luar dan mengirimnya ke bagian otak lain untuk disimpan), yang terkait dengan disfungsi kognitif dan perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh pasien penderita delirium.
ADVERTISEMENT