Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2

ADVERTISEMENT
Virus corona SARS-CoV-2 penyebab penyakit COVID-19 masih menyimpan banyak misteri. Para ilmuwan masih berupaya meneliti lebih jauh soal virus ini. Salah satu pertanyaan besar yang masih belum terjawab adalah soal tingkat kematian infeksi virus yang beraneka ragam.
ADVERTISEMENT
Selain itu, para ilmuwan juga diburu waktu untuk menemukan obat dan vaksin yang efektif melawan virus ini. Para ilmuwan sangat bergantung pada beberapa hewan yang menjadi eksperimen percobaan di laboratorium. Berikut deretan hewan yang digunakan untuk eksperimen COVID-19.
Tikus
Sejauh ini hewan utama yang dijadikan eksperimen penelitian terkait COVID-19 adalah tikus. Sebab, selain berkembang biak dengan cepat, hewan ini juga tidak mahal di pasaran. Di samping itu, para ilmuwan sudah berpengalaman melakukan uji coba terhadap hewan pengerat ini.
Pada tahun 2007, Stanley Perlman, ahli mikrobiologi University of Iowa melakukan rekayasa genetik pada tikus sehingga hewan ini dapat memproduksi reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE 2) seperti yang dimiliki manusia. Enzim ACE2 merupakan pintu masuk bagi virus SARS-CoV (penyebab penyakit SARS) dan SARS-CoV-2 untuk menginfeksi organ tubuh.
Para ilmuwan saat itu ingin mengetahui dampak penyakit SARS terhadap tikus. Dalam eksperimen itu, virus SARS terbukti mampu menginfeksi reseptor ACE2 yang dimiliki tikus.
ADVERTISEMENT
Perlman menggunakan eksperimen serupa untuk meneliti COVID-19 pada tikus. Ia memasukkan virus yang membawa reseptor ACE2 manusia ke tubuh tikus agar tikus itu untuk sementara waktu dapat terinfeksi virus SARS-CoV-2. Selain itu, Perlman juga menggunakan metode edit gen untuk memodifikasi reseptor ACE2 tikus agar dapat terinfeksi SARS-CoV-2.
Perlman telah mengirim sperma tikus hasil rekayasa genetik yang telah dibekukan untuk dikembangbiakkan di Jackson Laboratory. Di samping itu, ia juga berencana mengirim tikus-tikus tersebut ke laboratorium di berbagai negara untuk dijadikan eksperimen penelitian COVID-19.
“Kami seharusnya sudah punya jumlah tikus yang cukup untuk eksperimen pada pertengahan Juni nanti,” ujar Cat Lutz dari Jackson Laboratory, seperti diberitakan Scientific America.
ADVERTISEMENT
Sementara Kanta Subbarao, ahli virologi National Institute of Allergy and Infectious Diseases melakukan eksperimen dengan metode lain. Mereka menciptakan strain virus SARS yang mematikan terhadap tikus biasa dengan metode serial passage.
Para ilmuwan mengambil sampel virus dari paru-paru tikus yang sudah terinfeksi SARS. Virus itu kemudian disuntikkan ke tikus lain. Proses itu dilakukan sebanyak 15 kali ke tikus yang berbeda. Hasilnya mereka berhasil menciptakan virus yang 100 persen mematikan bagi tikus.
Namun meski enzim ACE2 membuat tikus sangat rentan terhadap virus SARS-CoV-2, Subbarao mengatakan virus itu kemungkinan hanya menyebabkan tikus menderita gejala ringan COVID-19.
Hamster, Musang, dan Kucing
Selain tikus, para ilmuwan juga bereksperimen pada hewan lain. Salah satu hewan yang dijadikan eksperimen COVID-19 adalah hamster. Menurut Subbarao, Hamster merupakan hewan yang berguna dalam penelitian SARS.
ADVERTISEMENT
Penelitian yang dilakukan tim peneliti dari University of Hong Kong menunjukkan virus SARS-CoV-2 bereplikasi di tubuh hamster dan membuat hamster itu menderita kerusakan paru-paru seperti yang dialami manusia. Meski demikian, tidak ada satupun hamster yang mati akibat virus ini, meski mereka menunjukkan gejala sakit termasuk penurunan berat badan.
Eksperimen itu juga menunjukkan bahwa hamster dapat memproduksi antibodi. Para peneliti menemukan serum darah yang berasal dari hamster yang telah pulih dapat mengurangi jumlah virus, namun tidak signifikan mengurangi kerusakan paru-paru pada hamster lain yang terinfeksi.
Para peneliti dari Korea Selatan juga mempelajari infeksi COVID-19 pada musang. Sebab, fisiologi paru-paru hewan ini mirip dengan yang dimiliki manusia. Musang yang terjangkit COVID-19 menunjukkan gejala sakit paru ringan dan peningkatan suhu tubuh.
ADVERTISEMENT
Dalam penelitian itu, tim ilmuwan juga menemukan virus SARS-CoV-2 lebih efisien bereplikasi pada saluran pernapasan atas, ketimbang saluran pernapasan bawah. Penelitian itu juga mengungkap penularan virus melalui droplet pada kucing yang berada di kandang yang sama.
Monyet
Hewan lain yang sering dijadikan eksperimen adalah monyet. Barry Rockx ahli virologi dari Erasmus University Medical Center mengatakan hewan primata menjadi standar utama dalam uji coba vaksin dan obat.
Ia memimpin penelitian terkait dampak infeksi COVID-19 pada hewan yang sudah berusia tua. Sebab, salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat keparahan infeksi COVID-19 pada manusia adalah usia.
Dalam penelitian itu, mereka menemukan virus bertahan lebih lama pada paru-paru monyet yang berusia lebih tua. Namun, mereka tidak menemukan perbedaan tingkat keparahan infeksi virus pada monyet tersebut.
ADVERTISEMENT
Penelitian tim Texas Biomedical Research Institute (Texas Biomed) juga menemukan hasil serupa. Menurut Deepak Kaushal, direktur Biomed, hasil penelitian terhadap tiga hewan sekaligus: monyet rhesus, babon, dan marmoset menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara usia dan tingkat keparahan akibat COVID-19.
Sementara penelitian tim ilmuwan dari Chinese Academy of Medical Sciences and Peking Union Medical College menemukan virus SARS-CoV-2 bereplikasi di hidung, paru-paru, dan perut monyet rhesus. Hewan ini juga menderita gejala pneumonia dan penurunan berat badan.
Penelitian yang dipimpin ahli virologi Chuan Qin itu sempat menarik perhatian karena menyebut monyet yang sembuh dari COVID-19 tidak dapat terinfeksi lagi. Tim peneliti dari Amerika Serikat juga menemukan monyet rhesus yang terjangkit COVID-19 hanya menderita gejala ringan ketika diberi obat antivirus remdesivir.
ADVERTISEMENT
Pekan lalu, Qin dan tim yang dipimpinnya menerbitkan hasil penelitian kandidat vaksin yang berasal dari virus SARS-CoV-2 yang sudah tidak aktif. Kandidat vaksin yang diberi nama PiCoVacc tersebut sudah diuji coba pada hewan seperti tikus dan monyet rhesus.
Hasilnya, vaksin itu berhasil menghasilkan respons imun yang mampu melawan virus SARS-CoV-2. Selain itu, vaksin ini juga tidak menunjukkan tanda-tanda peningkatan ketergantungan antibodi pada vaksin.
Namun berbagai penelitian tersebut masih belum dapat menggambarkan secara menyeluruh dampak infeksi COVID-19 pada hewan. Sebab para peneliti hanya dapat bereksperimen secara terbatas pada hewan karena tetap mempertimbangkan faktor etis.
Meski demikian, Perlman mengatakan eksperimen pada hewan sangat krusial. Sebab para peneliti dapat memanipulasi berbagai parameter seperti jalur infeksi, dosis virus, dan waktu infeksi.
ADVERTISEMENT
“Jika eksperimen dengan manusia, kalian tidak akan pernah tahu kapan mereka pertama kali terinfeksi dan apa yang sebenarnya terjadi. Kami dapat memahami penyakit lebih baik dengan eksperimen pada hewan karena dapat mengontrol sejumlah parameter,” jelasnya.