Efek Berbahaya Bully: Anak 9 Tahun Curhat Ingin Mati ke Ibunya

21 Februari 2020 16:03 WIB
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Quaden Bayles, bocah yang mengalami bully. Foto: Yarraka Bayles/Facebook
zoom-in-whitePerbesar
Quaden Bayles, bocah yang mengalami bully. Foto: Yarraka Bayles/Facebook
ADVERTISEMENT
Seorang ibu di Australia meminta kesadaran orang-orang untuk lebih memperhatikan kaum disabilitas dalam kurikulum di sekolah. Tuntutan itu bukan tanpa sebab, ibu bernama Yarraka Bayles itu mendapati putranya menangis dan mengungkapkan keinginannya untuk mati saja akibat mengalami bully.
ADVERTISEMENT
Melalui akun Facebook, Bayles mengunggah sebuah video yang memperlihatkan sang putra, Quaden, tengah menangis histeris sepulang sekolah.
Bocah 9 tahun itu, terlahir dengan kondisi achondroplasia yang membuat tubuhnya kerdil (dwarfisme). Quaden mengalami gangguan pertumbuhan tulang sehingga tinggi tubuhnya berada di bawah rata-rata. Kondisi itu membuat Quaden menjadi objek bully teman-temannya di bangku sekolah.
"Saya baru saja menjemput anak saya dari sekolah dan harus menyaksikan peristiwa perundungan seperti ini. Hal seperti ini patut menjadi perhatian banyak pihak dan saya ingin orang-orang tahu, termasuk orang tua dan para pendidik, bahwa seperti inilah dampak yang ditimbulkan dari perundungan," ujar Bayles, dalam video tersebut.
Quaden berulang kali mengatakan kepada sang ibunda bahwa ia ingin mati.
ADVERTISEMENT
Melihat reaksi yang ditunjukkan buah hatinya, Bayles mengaku bingung apa yang seharusnya ia perbuat. Ia terpaksa membagikan momen memilukan ini untuk menunjukkan efek perundungan yang dapat terjadi pada seorang anak.
Bayles menyimpulkan, perundungan yang menimpa Quaden tampaknya sudah sering kali terjadi dan kejadian ini tak boleh luput lagi dari pengawasannya.
Dilansir Stuff, Quaden pertama kali mencoba bunuh diri pada usia enam tahun. Kala itu penyebabnya karena sang kakek baru saja meninggal dunia.
Sejak itu, pikiran untuk menghabisi nyawanya sendiri kerap muncul dari siswa Carine State School di Brisbane itu saat dirinya tengah terpukul.
“Perundungan ini terus menerus terjadi, termasuk yang menyangkut nama ejekan, yang mempertegas bahwa ia berbeda dengan orang lain, inilah yang membuatnya sering berpikir untuk bunuh diri karena muak dengan perundungan yang terjadi setiap hari di sekolahnya dan di depan umum,” kata Bayles.
ADVERTISEMENT
“Aku merasa gagal sebagai orang tua, aku merasa sistem pendidikan kita juga gagal."
Quaden Bayles, bocah yang mengalami bully. Foto: Yarraka Bayles/Facebook
Bayles tak bermaksud menyalahkan sekolah atau anak yang terlibat dalam insiden bullying. Ia justru berpikir untuk menyadarkan banyak pihak dengan meningkatkan kesadaran tentang disabilitas di sekolah seperti memperkenalkan mereka dengan lokakarya.
"Solusi tersebut akan memecahkan begitu banyak masalah serta akan melindungi anak-anak disabilitas lainnya dengan membantu mereka merasa aman."
Akibat insiden perundungan, Bayles memilih mengeluarkan Quaden dari sekolah dan mempertimbangkan soal kemungkinan home schooling untuk putranya. Terkait video yang telah disaksikan 4 juta kali itu, Bayles dibanjiri dukungan dari publik.
Meski mendapat banyak dukungan, Bayles juga mengaku dia telah menerima banyak kritik karena membagikan video memilukan tentang anaknya. Namun Bayles bersikeras untuk tidak menghapusnya agar bisa menunjukkan kepada banyak orang bagaimana dampak bullying terhadap anaknya.
ADVERTISEMENT
"Jika aku tidak berdiri dan berbicara untuknya, siapa lagi?” tegasnya.
Dalam video, Bayles menjelaskan bahwa dia akan berbagi video setiap kali kejadian seperti ini terulang kembali, dengan harapan sesuatu akan berubah.
Sebuah studi dari Make Bullying History Foundation di Australia menemukan satu dari lima siswa menerima bullying setiap pekan. Hal ini tentu memilukan mengingat kesehatan mental adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan seseorang.