Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
![Kima sp. merupakan kerang raksasa yang tinggal di perairan Indo-Pasifik. Foto: FaisalZuhri/Wikimedia Commons](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1565788134/dyaov1babotbieuwcrrg.jpg)
ADVERTISEMENT
Kapal riset Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI) Baruna Jaya VIII mengantar Muhammad Hafizt dan para anggota tim Ekspedisi Nusa Manggala menelusuri delapan pulau kecil terluar Indonesia. Kedelapan pulau itu termasuk dalam 111 pulau yang merupakan perbatasan perairan Indonesia di tepi Samudra Pasifik.
ADVERTISEMENT
Peran Hafizt dalam ekspedisi yang memakan biaya Rp 9 miliar itu cukup penting. Ia didapuk sebagai koordinator ekspedisi leg ketiga yang berlangsung tanggal 5 sampai 16 Desember 2018. Namun begitu, pria kelahiran Pekanbaru itu sudah diterjunkan sebagai salah satu peneliti dalam leg pertama ekspedisi yang dimulai sejak 24 Oktober 2018 lalu.
Pulau Brass-Fanildo menjadi salah satu pulau yang dikunjungi tim ekspedisi pada leg pertama. Di sana, kata Hafizt, ditemukan kima atau jenis kerang raksasa yang sangat jarang ditemukan di tempat lain.
“Ada satu lokasi di mana kima yang sebagian besar sudah susah ditemukan, jumlahnya komplit di Pulau Brass-Fanildo,” papar Hafizt di acara peluncuran film dokumenter dan buku Ekspedisi Nusa Manggala: Kisah 8 Pulau Terluar di Pacific Place, Jakarta, Rabu (14/8).
Selama ini Brass-Fanildo memang dikenal memiliki atol atau kumpulan terumbu karang yang sangat luas dengan tutupan karang yang baik (65%) dan beragam karang hias. Kumpulan yang melingkari pulau tersebut menjadi tempat perlindungan bagi beragam biota laut dari kondisi ekstrem Samudera Pasifik untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.
ADVERTISEMENT
I Wayan Eka Darmawan, koordinator leg kedua Ekspedisi Nusa Manggala, mengungkapkan bahwa di atol tersebut hidup 8 spesies kerang raksasa. Jumlah itu menurut dia sekaligus menunjukkan bahwa spesies kima terlengkap di Indonesia hidup di atol tersebut. “Di setiap penelitian kita hanya ketemu 2,3, atau 4, tapi di sana ada semua.”
Ekspedisi yang terbagi menjadi tiga leg ini berlangsung selama kurang lebih 60 hari. Perjalanan Hafizt dan kawan-kawan dimulai sejak akhir Oktober 2018. Dari masing-masing kota asalnya, para peneliti dan ilmuwan berangkat terlebih dulu menuju Bitung, Sulawesi Utara, untuk kemudian berlayar ke pulau-pulau terluar seperti Yiew, Budd, Fani, Brass-Fanildo, Liki, Bepondi dan Meossu serta satu gugusan kepulauan Ayau di kawasan Raja Ampat.
ADVERTISEMENT
Perjalanan panjang yang menempuh jarak 6.000 kilometer itu juga menyisakan kisah-kisah unik yang dialami masing-masing peneliti. Seperti Hafizt misalnya, ia sempat merasa cemas menyaksikan hiu karang hilir mudik saat tiba di Pulau Fani.
“Hiu karang biasa mendekat di karang, di karang itu jalur kita untuk berjalan kaki sampai di perairan dalam, baru naik ke kapal,” ujarnya.
Kisah Wayan lain lagi, ia pernah sampai harus berendam selama berjam-jam di laut hanya untuk menghindari agas. Serangga yang biasa hidup di tepi laut itu, kata dia, jika sudah menggigit kulit maka rasa gatal yang ditinggalkan bisa bertahan selama seminggu.
Meski harus berendam di laut, Wayan tetap bisa menikmati Pulau Meossu yang menyuguhkan pesona alam menakjubkan. “Sambil menunggu rubber boat, kami menikmati pemandangan meski harus berendam di laut selama 2 sampai 4 jam. Kalau di darat kami akan digigit agas,” kata dia.
ADVERTISEMENT