Es Antartika Meleleh, Jadi 7,5 Triliun Ton Air Gara-gara Pemanasan Global

19 Oktober 2023 11:01 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penguin Adelie (Pygoscelis adeliae) berenang sejauh 3.000 kilometer dari habitat aslinya, Antarktika, ke Selandia Baru. Foto: Harry Singh/Facebook
zoom-in-whitePerbesar
Penguin Adelie (Pygoscelis adeliae) berenang sejauh 3.000 kilometer dari habitat aslinya, Antarktika, ke Selandia Baru. Foto: Harry Singh/Facebook
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Selama 25 tahun terakhir, lapisan es di Antartika telah mencair dan melepaskan 7,5 triliun ton air ke laut. Para peneliti dari Universitas Leeds mencatat adanya erosi terus-menerus pada lapisan es, dengan lebih dari 40 per penyusutan antara tahun 1997 dan 2021.
ADVERTISEMENT
Mereka merekam aktivitas es Antartika dengan menganalisis lebih dari 100.000 citra radar satelit. Tak dipungkiri, ada beberapa lapisan es yang bertambah besar selama periode di atas, namun kebanyakan kehilangan massa awalnya lebih dari 30 persen.
Sejak tahun 1975, lapisan es di Antartika sebenarnya bertambah, lewat 59 triliun ton air yang membeku. Namun nominal melelehnya tidaklah seimbang pada periode pengamatan para peneliti, yakni 67 triliun ton es.
Lelehan masif terjadi pada lapisan es bernama Getz, dengan total lelehan yakni 1,9 triliun ton air. Sebagai gambaran, satu triliun ton es setara dengan sebuah kubus berukuran lebih dari 10 km ke segala arah dengan tinggi 800 m lebih tinggi dari Gunung Everest.
Melelehnya es ini 95 persen disebabkan oleh pencairan. lima persennya disebabkan oleh 'calving', alias lepasnya bongkahan es besar ke laut.
ADVERTISEMENT
Dr Benjamin Davison, pemimpin penelitian tersebut, mengatakan bukti ini menunjukkan adanya perubahan nyata pada es Antartika.
“Kami memperkirakan sebagian besar lapisan es akan mengalami siklus penyusutan yang cepat dan berumur pendek, kemudian tumbuh kembali secara perlahan,” kata Dr Benjamin Davidson pemimpin penelitian dilansir Daily Mail.
Ilustrasi Kutub Selatan. Foto: Shutterstock
“Kami melihat bahwa hampir setengah dari jumlah tersebut menyusut tanpa ada tanda-tanda pemulihan.”
Dr Davidson dan rekan-rekannya percaya bahwa perubahan ini disebabkan oleh pemanasan global yang disebabkan oleh manusia. Jika peningkatan laju pencairan disebabkan oleh faktor alam (seperti variasi pola iklim) maka terdapat bukti pertumbuhan kembali es di wilayah barat yang biasanya lebih hangat.
Tim yang melakukan penelitian terbaru ini kini khawatir bahwa erosi yang terus-menerus pada lapisan es dapat berdampak besar pada iklim dunia yang lebih luas.  Lapisan es yang mengapung di laut dapat dianalogikan sebagai 'sumbat' raksasa di ujung gletser.
ADVERTISEMENT
Ketika gletser menipis atau mengecil, gletser akan bergerak lebih cepat ke laut. Jika lapisan es hilang atau berkurang, ini dapat mengganggu sirkulasi air laut dunia. Saat es mencair, ia membentuk mesin yang menggerakkan arus laut raksasa.
Karena sebagian besar air yang berasal dari lapisan es yang mencair ini adalah air tawar, ia akan mengencerkan air asin di lautan. Ini akan menjadikan kepadatan air laut berkurang, dan membutuhkan waktu lebih lama untuk tenggelam, kondisi ini dapat melemahkan sirkulasi air laut.