Faktor Budaya Jadi Penyebab Tingginya Angka Kematian Ibu dan Bayi Kita

28 Maret 2018 19:28 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi ibu dan anak (Foto: bingngu93/Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ibu dan anak (Foto: bingngu93/Pixabay)
ADVERTISEMENT
Menurut catatan Millenium Development Goals (MDGs) ASEAN, sampai tahun 2015 Indonesia masih menduduki peringkat kedua tertinggi angka kematian ibu melahirkan di Asia Tenggara. Sebanyak 305 per 100 ribu ibu di Indonesia meninggal dunia saat melahirkan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data World Bank, setiap jam di Indonesia ada seorang ibu yang meninggal dunia karena melahirkan. Dan dari seribu kelahiran, ada 19 bayi yang meninggal dunia.
Prof. DR. dr. Akmal Taher, SpU (K), anggota dari Komisi Bidang Kedokteran Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) mengatakan, bukan hanya faktor medis yang mempengaruhi tingginya kematian ibu dan bayi baru lahir di Indonesia. Salah satu faktor penting yang menyebabkan kematian ibu dan bayi di negeri kita ini adalah faktor budaya.
“Faktor budaya ini penting ternyata, ditemukan itu evidence-nya (buktinya),” kata Akmal saat diwawancarai oleh kumparanSAINS, usai memaparkan bukti-bukti ilmiah mengenai penyebab tingginya angka kematian ibu dan bayi baru lahir di Indonesia dalam acara Evidence Summit untuk Mengurangi Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia yang diadakan AIPI di Jakarta, Rabu (28/3).
Prof. Akmal Taher (Foto: Zahrina Noorputeri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Prof. Akmal Taher (Foto: Zahrina Noorputeri/kumparan)
Apa saja yang termasuk dalam faktor budaya tersebut? Akmal mengatakan salah satunya adalah budaya bahwa perempuan belum diberikan kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri.
ADVERTISEMENT
“Masih banyak yang budayanya itu perempuan tidak bisa memutuskan sendiri, apakah dia mesti berobat atau enggak. Apakah dia ke rumah sakit atau enggak. kadang suaminya atau keluarga besarnya (yang mengambil keputusan). Sistem seperti ini berpengaruh,” ujar Akmal yang juga menjadi Ketua Evidence Summit tersebut.
Kemudian yang kedua adalah perkawinan dini. Akmal mengatakan, melalui pengumpulan berbagai data, AIPI mampu memberikan bukti ilmiah adanya hubungan antara perkawinan dini dengan kematian ibu dan bayi baru lahir.
“Menikah dini itu jelas berpengaruh. Orang yang menikah lebih dini ternyata angka kematian ibu dan bayi baru lahirnya lebih besar.”
Sesi Dialog tentang Hasil Evidence Summit  (Foto: Dok. AIPI)
zoom-in-whitePerbesar
Sesi Dialog tentang Hasil Evidence Summit (Foto: Dok. AIPI)
Menteri Kesehatan RI, Nila F. Moeloek, yang turut hadir dalam Evidence Summit ini juga mengatakan bahwa usia ibu yang masih muda bisa berpengaruh pada kesehatan bayinya.
ADVERTISEMENT
Ia menceritakan pengalamannya sendiri ketika menemukan kasus bayi yang lahir dengan ukuran kecil di Tenggarong, Kalimantan Timur.
“Saya masuk ke NICU, saya melihat ada 16 bayi dengan berat badan rendah. Saya sedih melihatnya,” kata Nila. “Saya nebak, pasti umurnya (ibunya) muda sekali. Betul, umurnya masih muda. Jadi kita harus lihat budaya kita ini bagaimana.”
Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek (Foto: Dok. AIPI)
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek (Foto: Dok. AIPI)
Sementara itu, faktor budaya lain yang memberikan pengaruh adalah mengenai ketimpangan gender. Selain membuat perempuan memiliki hak terbatas untuk membuat keputusan, ketimpangan gender pun mengurangi peran dari suami untuk lebih terlibat dalam proses hamil, melahirkan, dan merawat anak.
Menanggapi bukti bahwa faktor budaya memiliki peranan penting dalam kematian ibu dan bayi baru lahir, AIPI mengeluarkan tiga rekomendasi kebijakan. Pertama, memfasilitasi koordinasi antar pemangku kepentingan agar lebih melibatkan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program.
ADVERTISEMENT
Kedua, peninjauan kembali terhadap aturan cuti persalinan untuk perempuan dan laki-laki serta peninjauan terhadap aturan usia pernikahan. Dan ketiga sekaligus terakhir, memberikan pemahaman mengenai kesetaraan gender di kurikulum sekolah.