Gedung BCA Tak Bergoyang, tapi Kenapa Kepanikan Massal Mudah Terjadi?

9 April 2018 11:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga heboh gara-gara Menara BCA. (Foto: Instagram @aliron45 @donnyra @ramaramdon)
zoom-in-whitePerbesar
Warga heboh gara-gara Menara BCA. (Foto: Instagram @aliron45 @donnyra @ramaramdon)
ADVERTISEMENT
Kepanikan massal sempat terjadi di acara Car Free Day Jakarta, pada Minggu (8/4). Kepanikan disebabkan karena adanya orang yang berteriak bahwa Gedung BCA yang terletak di Jalan MH Thamrin bergoyang seolah-olah hendak roboh.
ADVERTISEMENT
Teriakan tersebut menyebabkan banyak orang berlarian, mencoba untuk menyelamatkan diri. Bahkan, mereka yang sedang menunggu bus Transjakarta pun sampai melompat turun dari halte.
Padahal, setelah ditelusuri, tidak ada kejadian gempa pada hari itu dan gedung BCA baik-baik saja. Orang yang melihat gedung BCA bergoyang seolah-olah akan roboh ternyata hanya terkena ilusi penglihatan. Orang itu menganggap gedung BCA bergoyang karena ia melihat awan yang bergerak di atas gedung tersebut.
Kepanikan pada satu orang inilah yang kemudian merembet menjadi kepanikan banyak orang lainnya. Mudahnya orang-orang untuk ikut merasa panik ini ternyata ada penjelasannya dari sisi psikologis. Jadi, mengapa pada hari itu kepanikan massal bisa terjadi dan mengapa kepanikan satu orang bisa begitu mudah ‘menular’ pada banyak orang?
ADVERTISEMENT
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Aulia Iskandarsyah, M.Psi., M.Sc., Ph.D, mengatakan ada beberapa karakteristik pada orang banyak yang sedang berada di suatu tempat yang sama (crowd).
“Ketika orang berkelompok, mereka memiliki karakteristik tertentu,” kata Aulia kepada kumparanSAINS via telepon, Senin (9/4). “Salah satu karakteristik crowd adalah suggestible (mudah tersugesti).”
Ia mencontohkan, ketika ada yang berteriak ‘lari!’, maka tanpa berpikir panjang, massa akan langsung lari.
Karakteristik kedua dari crowd dalam peristiwa ini adalah irrational (tidak rasional). “Jadi tidak mengecek dulu kebenarannya, ia langsung merespons,” terang Aulia.
Aulia menjelaskan, karakteristik ini bisa muncul karena dipengaruhi oleh peristiwa sebelumnya yang membuat massa panik, sehingga mereka cepat sekali bereaksi.
“Di Pangandaran kalau ada yang berteriak tsunami, orang langsung bereaksi. Karena sebelumnnya kan pernah ada tsunami,” tutur Aulia.
ADVERTISEMENT
Menurut Aulia, kepanikan yang terjadi di Car Free Day Jakarta itu bisa jadi dipicu oleh peristiwa gempa besar pada Januari 2018 yang juga menyebabkan kepanikan massal, terutama di gedung-gedung perkantoran Jakarta. Selain itu, ujar Aulia, kepanikan soal akan robohnya gedung BCA itu bisa juga dikarenakan massa mengingat peristiwa robohnya selasar gedung BEI.
Kedua karakteristik yang telah dijelaskan di atas mungkin tidak dapat dihindarkan oleh seseorang ketika berada dalam kelompok besar seperti yang terjadi di Car Free Day Jakarta tersebut. Namun, menurut Aulia, bukan berarti ketika ada yang berteriak, kita harus langsung ikut panik, apalagi sampai melakukan hal-hal yang justru berbahaya.
“Yang paling penting adalah kita tahu bagaimana memposisikan diri dan tidak reaktif,” ucap Aulia. Ia mencontohkan, ketika ada yang berteriak ‘api!’, sebaiknya jangan langsung berlari-lari dan ikut berteriak, padahal belum tentu peristiwa kebakaran benar-benar terjadi.
ADVERTISEMENT
“Yang diperlukan, tetap tenang agar tidak reaktif. Cek benar atau tidak informasinya. Kalau benar, baru kita harus merespons secepatnya,” saran Aulia.