Greenpeace Kritik RUU Omnibus Law: Izin Lingkungan hingga Sanksi Administratif

29 Februari 2020 16:26 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Deforestasi menjadi perkebunan kelapa sawit. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Deforestasi menjadi perkebunan kelapa sawit. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Greenpeace menolak tegas pengesahan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja karena dinilai telah menyingkirkan aspek penyelamatan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Asep Komarudin, menyampaikan poin-poin dalam draf setebal 1028 halaman itu yang menurut pihaknya patut dikritisi. Pertama terkait hilangnya izin lingkungan yang kemudian hanya berlaku izin usaha.
Sebenarnya, poin mengenai izin lingkungan ini telah tercantum dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009 yang memberikan ruang bagi publik untuk melakukan partisipasinya melalui mekanisme sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Proses pengeluaran izin oleh pemerintah itu bisa di-challenge melalui PTUN. Karena izin lingkungannya sudah dihilangkan dan pasal yang berkaitan dengan masyarakat bisa mengajukan gugatan, maka ruang partisipasi publik dalam mengajukan perlawanan sudah tidak ada,” ujarnya kepada kumparan SAINS, Kamis (27/2).
Potret keluarga Orang Rimba di Muara Kilis, Jambi. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Poin kedua soal berubahnya AMDAL dalam Omnibus Law. Asep bilang, di dalam RUU ‘sapu jagat’ AMDAL diberlakukan untuk jenis usaha yang berisiko berbahaya. Menurutnya, kategori berbahaya di sini tidak disampaikan secara jelas sebagaimana yang telah disebutkan secara lebih detail dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup.
ADVERTISEMENT
Lalu, ketiga soal pasal yang berkaitan dengan larangan pembukaan lahan dengan membakar. Asep mengutarakan, ada poin penting yang dihapus dalam Omnibus Law, yakni yang memperhatikan kearifan lokal.
“Yang kita khawatirkan ke depan adalah akan muncul banyak kriminalisasi para peladang masyarakat adat yang memang memiliki adat kearifan lokal tentang bagaimana membuka lahan dengan cara membakarnya,” beber Asep.
Poin yang dipersoalkan berikutnya ialah tentang pemberlakuan sanksi administratif dalam perlindungan lingkungan yang diutamakan dalam undang-undang seperti Omnibus Law. Asep menilai, hal tersebut sebagai sebuah kekeliruan, sebab sanksi administratif dan sanksi pidana memiliki pendekatan yang berbeda.
Buruh melakukan aksi unjuk rasa tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (13/1). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
“Administrasi mengarah pada kepatuhan, tetapi kalau penegakan hukum pidana, yang dikejar adalah efek jera. Ini tidak bisa dijadikan prasyarat salah satunya. Jadi itu sebenarnya bisa berjalan berbarengan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Permasalahan ditariknya mekanisme perizinan ke pemerintah pusat turut dikritisi. Asep memandangnya sebagai sebuah kemunduran karena bertentangan dengan semangat demokrasi, desentralisasi yang kini ditarik kembali menjadi sentralisasi.
“Kalau alasannya karena ada praktik korupsi, tidak ada jaminan ketika sentralisasi perizinan dilakukan tidak ada korupsi terjadi,” tambahnya.