Harta Karun Emas Senilai Rp 386 Triliun Diduga Tersembunyi di Tempat Ini

31 Mei 2024 16:05 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Emas ditemukan di wilayah Witwatersrand pada tahun 1886, membawa perubahan besar di wilayah tersebut. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Emas ditemukan di wilayah Witwatersrand pada tahun 1886, membawa perubahan besar di wilayah tersebut. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seorang ilmuwan muda yakin bahwa sebuah cekungan Witwatersrand di Afrika Selatan kemungkinan besar berisi tumpukan emas tak kasat mata. Nilai "harta karun" itu diperkirakan mencapai 24 miliar dolar AS atau sekitar Rp 386 triliun (kurs Rp 16.082,1).
ADVERTISEMENT
Cekungan Witwatersrand di Afrika Selatan pernah menjadi saksi bisu terjadinya Demam Emas pada akhir abad ke-19 yang memicu berdirinya tambang emas raksasa Johannesburg. Diperkirakan 40 persen dari seluruh emas yang ditambang di Bumi didapat dari Witwatersrand. Penambangan besar-besaran kala itu meninggalkan limbah bijih yang dikenal sebagai tailing.
Dr. Steve Chingwaru (26), seorang ahli metalurgi berasal dari Zimbabwe, baru-baru ini melakukan penelitian di tempat tersebut. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 6 miliar ton limbah bijih di sekitar tambang Johannesburg kemungkinan mengandung 460 ton lebih “emas tak terlihat”.
Apa yang dimaksud dengan emas tak terlihat? Jadi, emas tidak melulu berbentuk bongkahan yang berkilauan. Emas terkadang datang berbentuk logam kecil berharga yang ditemukan tercampur di dalam mineral lain sehingga tidak terlihat oleh mata manusia. Ini dikenal sebagai emas yang tak terlihat.
ADVERTISEMENT
Setelah menghitung jumlah emas yang tersimpan di perbukitan Witwatersrand, Chingwaru mencari cara lebih efisien untuk memproses ulang tailing untuk mendapatkan logam bernilai tersebut.
Ilustrasi pasir tailing. Foto: Freeport
“Secara historis, rendahnya konsentrasi emas di dalam tailing dianggap kadarnya terlalu rendah untuk bisa bernilai,” ujar Chingwaru.
“Biasanya mereka hanya berhasil mengekstraksi 30 persen emas melalui proses ini. Jadi, dalam penelitian PhD saya, saya bertanya di mana sisa 70 persennya dan bagaimana cara memisahkan antara emas dengan mineral lain dengan aman.”
Selain tidak efisien, cara mengeksploitasi timbunan sisa bijih yang ada saat ini dianggap dapat menimbulkan kerusakan pada lingkungan.
“Ketika sulfida teroksidasi, mereka menghasilkan asam sulfat, dan ketika asam tersebut masuk ke dalam air tanah, hal ini meningkatkan kadar beberapa unsur beracun. Ini merupakan masalah besar di beberapa wilayah di Johannesburg karena mereka khawatir air tanah akan tercemar oleh pembuangan air asam tambang yang disebabkan oleh tailing. Itu sebabnya saya menyoroti potensi ekonomi, serta manfaat lingkungan dari pengolahan ulang limbah bijih secara efisien,” papar Chingwaru.
ADVERTISEMENT
“Jika Anda mengolah pirit, Anda menghilangkan penyebab utama terjadinya air asam tambang, dan Anda juga mendapatkan nilai ekonomi darinya. Proses ini mempunyai potensi untuk memulihkan produk sampingan tambahan yang berharga seperti tembaga, kobalt, dan nikel, serta mengurangi atau bahkan menghilangkan polusi logam berat dan drainase asam tambang terkait dengan pembuangan tailing.”
Ilustrasi tambang emas. Foto: TTstudio/Shutterstock
Penelitian Chingwaru menunjukkan, limbah bijih Johannesburg mengandung kekayaan emas, kira-kira 24 miliar dolar atau setara lebih dari Rp 386 triliun.
Pertanyaannya, apakah metode baru yang dikembangkan Chingwaru untuk mengekstraksi emas ini memiliki biaya yang sepadan dengan nilai emas yang didapat? Chingwaru mengatakan bahwa dia telah konsultasi dengan senior di bisnis pertambangan emas di Afrika dan mereka percaya bahwa cara ini dapat dikembangkan menjadi lebih layak lagi.
ADVERTISEMENT
“Mereka semua bilang, ya, mengekstraksi emas itu mahal, tapi mereka tetap bisa mendapat untung yang lumayan. Apalagi jika harga emas tetap di tempatnya,” ujarnya kepada Al Jazeera.